23 : lelaki payah

4 1 0
                                    

Buatlah cerita yang di awali dengan kalimat terakhir cerita ke-5

[]

Aku nggak menjamin mentalmu akan pulih sekuat baja habis dari sini, cuma kau perlu sekali-sekali menyentuh alam saat suntuk di kehidupan sehari-harimu.

Ingatkah kalian aku pernah berkata demikian? Kalau tidak ingat, coba lihat chapter lima!

Nyatanya, yang terjadi setelah healing tipis-tipis kami adalah malapetaka buatku. Ekspektasi di mana mentalku akan pulih sekuat baja setidaknya untuk hari ini mendadak pupus.

Begini ....

Mulanya, saat perjalanan pulang, kami tersesat dua kali. Si tolol yang ngotot kepengin mengambil kendali setir itu memang tak dapat dipercaya dari awal. Bedanya, saat berangkat, dia dengan cepat mengambil jalan alternatif lain yang tak terlalu memakan waktu untuk sampai ke tujuan. Di perjalanan pulang ini kami nyasar ke mana-mana sehingga waktu tempuh jadi jauh lebih lama dan bensin hampir habis. Sean berjanji akan bertanggung jawab untuk mengisi bensin hingga penuh, maka kami berhenti sambil istirahat sejenak di rest area.

Sialnya, semesta punya selera humor yang menjijikkan. Ketika aku dan beberapa kawanku hendak membeli minuman di minimarket, aku melihat sosok sepertinya berjarak tiga mobil dari mobil Bagas-mobil yang kami tumpangi. Meski perawakannya dari jauh persis dia, wajahnya belum terlihat, pun penglihatanku samar-samar, jadi bisa jadi bukan dia. Aku hanya kebanyakan memikirkannya semenjak beberapa hari ini terpaksa kembali berurusan dengannya. Aku pun kembali fokus untuk berjalan ke minimarket.

Saat keluar dari minimarket, aku kembali melihat sosok tersebut. Perempuan yang cukup tinggi, mengenakan baju hijau army beserta celana krem, tengah berjalan bersama seorang anak kecil dengan arah yang berlawanan dengan kami. Aku memicingkan mata minusku demi memperjelas visi, karena sejauh ini, wajahnya masih samar. Dari jarak sekitar satu meter barulah aku dapat melihat dengan amat jelas. Wajah manis itu, binar matanya, kulit sawo matangnya, rambut ikalnya yang diikat rapi.

Dadaku sesak, tetapi aku berusaha sekuat tenaga untuk menyapanya karena telanjur memperhatikannya sedari tadi. "Eh, Naomi."

Andai dia tahu, perasaanku saat ini campur aduk. Debaran jantungku mendadak lebih cepat, tapi alih-alih dihinggapi letupan antusiasme serta semangat empat lima aku lebih ke lemas. Aku juga sedang memprotes mati-matian kepada Tuhan atas kenapa dia menempatkanku di posisi ini saat ini, lucukah ini bagi-Nya?

Setelah kami dipisahkan karena—kata Jerico—aku disuruh mencari yang seiman, semesta malah terus mempertemukannya padaku belakangan ini setelah sebulan sebelumnya kami sama sekali tak pernah berpapasan lagi.

Ah, manusia lemah iman sepertiku mana berhak berbicara seperti itu. Pacaran saja dari awal sudah salah, mau yang seiman apalagi yang tak seiman.

"Loh, Ali, ngapain?" Matanya melebar. Ia terlihat terkejut.

"Abis healing lah abis UTS." Aku menunjuk dua temanku yang ada di belakangku. Mereka ikut berhenti meski terlihat kikuk karena menyadari situasi canggung ini. "Lu lagi sama keluarga?" Aku balik bertanya.

Kini ia menundukkan wajah, lalu kembali mengangkat kepalanya. "Iya, mau pulang juga abis jalan-jalan."

"Oh, ya udah, gue duluan ya." Aku segera melangkahkan kaki dan melambaikan tangan padanya, kedua temanku mengikuti.

"Iya," balasnya berusaha ramah, meski terdapat nada canggung dalam suaranya.

Aku mengembuskan napas kasar. Bahkan warna atasan dan bawahannya senada dengan outfit-ku hari ini.

"Li, vokalis band ya?" tanya Malik.

Jerico yang paham situasi pun langsung menyikut dan berkata sambil mengecilkan suara, "Mantannya goblok!"

Malik yang betulan goblok pun berseru, "Hah? Mantan?!"

Aku pun menjelaskan dengan nada datar, "Iya, baru putus sebulan lalu."

"Pacarannya aja gua nggak tau," balasnya.

"Dia yang minta biar hubungan kita dirahasiain, tapi ujung-ujungnya kita nggak kuat pacaran diem-diem," jelasku lebih detail disertai dengan senyuman hambar.

Malik dan Jerico yang telah membaca situasi pun diam hingga kami kembali ke mobil. Setelah itu, sepanjang perjalanan aku berusaha bersikap baik-baik saja seolah tak ada yang terjadi. Namun, aku tak mampu memanipulasi isi hatiku bahwa aku ... sedih? Marah? Hampa?

Entahlah, yang jelas di sini aku benar-benar merasa seperti pria payah. Cih, gagal move on, aku meledek diriku sendiri dalam hati. Benar-benar rencana healing yang berakhir buruk.

[]

Ini semacam lanjutan dari chapter ke-7 dan ke-5 (iya, timeline-nya sebenernya 7 dulu baru 5, dan ini di hari yang sama kayak chapter 5).

Ini rada maksa ya masukin kalimat awalnya. Tapi, mau bagaimana lagi yah, temanya itu, aku pikir bakal lebih maksa kalo kupake kalimat itu buat cerita baru.

Jum'at, 23 Februari 2024

REAKSI IV - NPC Daily Writing Challenge 2024Where stories live. Discover now