Bab 1

23 11 43
                                    

Pagi yang begitu dingin dengan angin berhembus pelan, yang mendorong tirai jendela di rumah seseorang.

Matahari pun masih malu-malu menunjukan keberadaannya, untuk menyinari bumi yang sedikit cahaya, karena lampu jalanan otomatis mati.

Seseorang itu adalah Mia Everly Orson, sedang menyisir rambut coklatnya di depan cermin agar tampak rapi. Ia tidak ingin terlihat berantakan saat pergi bekerja nanti.

Ia sangat cepat sekali menyisir dan mengikat setiap helai rambut menjadi satu kesatuan. Lalu, ia beralih mengambil minyak wangi dan menyemprotkan pada leher dan urat nadinya.

Senyumnya mengembang tipis, mata birunya menatap yakin pada pantulan dirinya di cermin. Setelah itu, ia keluar dari kamar mandi dan kamar tidurnya untuk menuju area dapur. Ia tidak ingin melewatkan sarapan ini, demi bisa bertahan hingga jam makan siang nanti.

Dengan cekatan, ia mempersiapkan sarapannya. Selesai roti itu matang, ia duduk sendirian di meja makan untuk sarapan. Tiba-tiba, saat ingin memakan roti itu, ponselnya berdering.

Ia menengok sekilas siapa yang menelepon. Gadis itu mengangguk senang karena panggilan itu berasal dari Ibunya. Ia segera meraih gelas dan menjadikan gelas itu sebagai sandaran ponsel.

Setiap pagi orang tuanya selalu menelepon Mia. Mereka berdua sangat perhatian pada anak gadis pertamanya yang tinggal jauh dari mereka.

“Selamat pagi Mama, Papa dan Sarah. Apa kabar? Bagaimana hari Mama pagi ini?”

“Halo, Mia Sayang. Biasa Mama selalu mempersiapkan sarapan untuk Papa dan Sarah.”

“Tumben sekali Sarah sarapan. Biasanya dia selalu menolak sarapan.”

Damaris tertawa dan menggerakkan ponselnya untuk merekam kegiatan makan Daniel dan Sarah. “Lihat adikmu, dia makan dengan lahap. Sepertinya Sarah mengingat baik pesanmu, Mia.”

Dari seberang sana terdengar celotehan Sarah yang menolak direkam. Lalu, suara berat milik Daniel menimpali yang dikatakan Sarah. Percakapan video call itu penuh keceriaan.

Akan tetapi, Mia menyadari waktu dari ponselnya dan segera menyelesaikan suapan terakhir sarapannya. Dengan suara lembut, Mia berkata, “Ma, Pa, aku harus segera berangkat. Makasih ya sudah selalu menelepon dan mengkhawatirkan aku.”

“Baik'lah, Nak. Hati-hati di perjalanan, ya. Jangan terlambat dan jaga dirimu dengan baik.”

“Tentu, Ma. Aku akan berhati-hati. Jangan khawatir. Aku sayang kalian, bye.”

Panggilan video call itu diputus oleh Mia. Mia segera mencuci piring tadi dan bergegas pergi menuju tempat ia bekerja. Saat Mia di depan gerbang rumahnya, matanya menatap rumah tetangga Mia. 

“Emily …”

Kenangan Mia di masa lalu kembali berputar. Ia merasa hidupnya bagai dihisap pusaran air. Kapan saja bisa menenggelamkan Mia.

Selain itu, Mia juga merasa seperti ditinggal pergi Emily karena pekerjaan ayah dia. Meski Emily masih mengirim surat, lambat laun dia tidak pernah mengirim surat lagi.

Mia menggeleng pelan. Ia percaya dengan Emily, pasti ada alasan dibalik menghilangnya Emily. Lalu, ia melanjutkan menaiki motor dimilikinya.

 ●•●•●•●        ●•●•●•●        ●•●•●•●

“Hei, kalian bangun!” teriak seorang gadis sambil menyipratkan air ke wajah masing-masing karyawannya.

“Duh, Emily, ini masih pagi udah teriak-teriak aja,” ucap Viola tak kalah menyebalkan dari Emily.

Love's Unexpected PathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang