Bab 2

7 2 0
                                    

Seorang pria dengan setelan kemeja rapi sedang berjalan masuk ke dalam lift. Yang akan membawanya naik ke lantai ruangan CEO.

Sesampainya di lantai tersebut. Dia kembali berjalan dan sesekali melihat karyawan lain sibuk dengan pekerjaannya.

Pria tersebut akhirnya tiba di depan ruangan CEO. Kemudian, dia mengetuk pintu dan menurunkan gagang pintu untuk masuk.

Pintu pun ditutup dan tanpa basa-basi mendekat ke meja yang terdapat papan bertuliskan ‘CEO Hugo Invictus Ashford’.

“Hugo, ini minuman, lo.”

Pria dipanggil Hugo itu yang sedang asik didepan komputer, terpaksa mata hitam miliknya menoleh sedikit. “Sopan sedikit sama atasan lu, Eric. Jangan lupa ini masih jam kerja.”

Dia membuang nafasnya sedikit lalu melempar pandang pada depan komputernya. Hugo masih sedikit tidak percaya, Eric selalu melupakan aturan kantor.

Hugo dan Eric merupakan sahabat sejak mereka masih kelas sekolah menengah pertama. Awalnya mereka tidak akrab, lambat laun persahabatan mereka terjalin. Karena Eric yang meminta pinjaman contekan pada Hugo.

Eric menggaruk belakang kepala yang tidak gatal. “Maaf, Pak Hugo. Minuman, Bapak, saya taruh dimana?”

“Taruh di meja seperti biasanya, Eric.”

Eric Fousel. Dia selain menjadi sahabat, dia juga sekretaris Hugo. Sebagai sekretaris yang setia, Eric sering kali melayani permintaan Hugo apapun itu.

Mereka pun akhirnya duduk bersama meja di depan meja kebesaran Hugo. Mereka mulai menikmati minuman tersebut.

"Pak Hugo, tadi saat saya pulang jalan kaki ke kantor. Saya melihat sesuatu yang menarik. Ini saya sudah bisa berbicara nonformal?”

“Apa itu? Sudah bisa.” Hugo mengunyah bola-bola tepung kanji sambil melirik sedikit Eric.

“Saya melihat seorang gadis di dalam kafe."

“Apa spesialnya dari gad-”

Eric memotong ucapan Hugo. “Dia tersangka kasus pembunuhan almarhum ibu, lo.”

Spontan Hugo tersedak bola-bola tepung kanji yang dimakan. Dia tidak percaya Eric melihat gadis itu.

Selama dua tahun terakhir. Hugo sudah mencari kemanapun gadis itu. Bahkan menyewa detektif, tetap masih belum menemukan gadis itu.

'Lo, gapapa, kan?"

"Gue gapapa. Dimana kafe lo lihat gadis itu?”

“Kalau gak salah, kafe Mawar Putih.”

Hugo menyeringai dengan tatapan mata yang semakin tajam. Kini, dia tidak perlu susah payah mencari lagi gadis itu. Dia datang sukarela untuk masuk ke dalam kandang singa.

●•●•●•●        ●•●•●•●        ●•●•●•●                 
Suasana kafe kembali sepi dan tenang memenuhi ruangan. Mia, berdiri sendirian di meja pelayanan. Tangannya lihai menarik pensil, untuk membentuk setiap garis di buku sketsa kesayangannya.

Sementara Mia asyik menggambar. Ethan, berdiri di sebelahnya dan melirik apa yang sedang Mia lakukan. Tertarik dengan gambaran Mia, Ethan memutuskan untuk memulai percakapan.

“Apa yang sedang lo lakuin?"

Mia mengangkat kepalanya dan tersenyum pada Ethan.

“Lagi gambar di masa kecil gue, Than. Dia seorang anak SMA yang memberikan payung pada gue saat hujan turun."

“Kok bisa lo kehujanan? Gak ada yang jemput lo? 

“Waktu itu, supir gue belum datang jemput di sekolah. Kebetulan gue lapar banget dan bekal sudah habis. Jadinya gue jalan cari jajanan. Pas mau balik, tiba-tiba hujan dong. Mana lupa bawa payung. Lebih kaget lagi, ada anak SMA dan berikan payungnya tanpa berkata apapun. Itu begitu sederhana, tapi begitu berarti bagi gue."

“Lo anak orang kaya? Di kantin sekolah lo, gak ada kantin?"

"Iya gue dulu anak orang kaya, tapi usaha bokap gue bangkrut," ujar Mia, "seinget gue, kantin SD gue  udah tutup duluan, sebelum jam tiga sore."

"Lo wanita yang hebat dan mampu bangkit dari keterpurukan." Ethan mengacungkan kedua ibu jarinya. "Lo tahu gak siapa anak SMA itu?"

Mia menggelengkan kepalanya.

"Yah, sayangnya, gue tidak tahu siapa dia. Gue nggak sempat mengucapkan makasih, karna dia langsung pergi begitu saja setelah memberikan payung."

"Udah jangan berkecil hati, sapa tahu suatu hari nanti, lo akan bertemu dengannya lagi."

Mia tersenyum, merasa terhibur oleh perkataan Ethan.

"Siapa tahu, memang begitu. Makasih, Ethan. Gue sekarang lebih baik.”

“Memang, apa yang lo alami?”

“Nggak, bukan apa-apa, ‘kok.”

Ethan mulai menaruh curiga pada Mia. “Lo yakin?”

Mia mengangguk pasti. Ethan tidak boleh tahu yang dialaminya. Ia tidak ingin ada orang lain tidak bersalah, ikut terseret ke dalam kasus yang pernah Mia alami dua tahun lalu.

Mia menghentikan kegiatan menggambar, ia berdiri dan mulai membentuk senyum sopan pada seorang pelanggan yang datang.

"Selamat datang di kafe Mawar Putih. Silahkan, mau pesan apa, Pak?" tanya Mia dengan nada lembut. Hanya saja, dilihat-lihat kembali wajah pria itu terasa familiar, tetapi pikirannya tidak dapat mengingat dimana ia melihat pria itu.

●•●•●•●        ●•●•●•●        ●•●•●•●              
Malam kembali menyapa bumi. Jalanan kota Synthetica yang Mia lalui bersama motornya, penuh dengan kerlap-kerlip lampu. Yang mana masih banyak yang berjalan-jalan, seolah mereka tidak merasakan kantuk.

Ia ingin rasanya cepat sampai lupa dan sudah rindu pada kanvas di rumah. Namun, kurang dari beberapa meter lagi dari komplek rumah. Mia menghentikan motornya. Ia mendengar suara anakan anjing bersuara.

Mia langsung turun dari motor dan berjalan mencari tahu dimana anjing itu. Tak berapa lama mencari, Mia akhirnya menemukan kardus, setelah tangannya menggeser daun pohon.

Ia segera berlari dan mulai membuka kardusnya. Betapa kagetnya Mia, ada dua anakan anjing itu seperti bentuk anjing Husky.

"Astaga, kasihan sekali …” Mia mulai mengelus kepala dua anjing. “Siapa orang yang tega membuang anjing selucu ini?

Terlihat kedua anjing ini mengibaskan ekornya karena kesenangan dielus-elus Mia.

Melihat malam sudah tengah malam. Mia memutuskan untuk membawa pulang kedua anjing itu bersama dirinya. Sekaligus Mia akan membeli keperluan,  paling tidak shampo atau makanan anjing di minimarket.

.                                Bersambung...

Love's Unexpected PathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang