Bab 3

12 4 1
                                    

Di dalam rumah Mia. Ia saat ini sedang memegang pengering rambut. Untuk mengeringkan bulu anjing Husky yang memiliki semburan warna abu-abu. Sampai saat ini, ia masih belum menentukan nama dari kedua anjing itu.

Selesai mengeringkan dan merapikan peralatan. Anjing-anjing itu terus berputar di kaki Mia. Seolah mereka mengerti, Mia akan memberi mereka makan.

Mia mengambil makanan basah yang dibelinya. Ia merobek kemasan itu dan mengeluarkan isiannya diatas piring. Kemudian, Mia memberikan pada kedua anjing itu. Mereka terlihat sangat lahap sekali memakannya.

“Gue udah nemuin nama kalian. Karena kalian sama-sama perempuan dan lahir di waktu sama. Putih belang kehitaman krem, gue namain Rika. Dan, saudaramu hitam putih, gue namain Riko.”

Ding-dong. Ding-dong.

Suara bell pintu mengalihkan perhatian Mia menoleh ke arah pintu. Ia langsung mengernyitkan pelipis.
Siapa yang datang jam satu malam begini?

Mia segera diam-diam berlari ke arah dapur dan mengambil pisau di lemari. Kemudian, memegangnya dengan erat dan menyembunyikan dibelakangnya.

Mia mulai memberanikan diri mendekati pintu. Sebelum membuka pintu, ia melihat sebentar dari jendela rumah. Mata Mia menangkap sosok yang sangat familiar.

Apa Emily? batin Mia.

Ding-dong. Ding-dong.

Bell pintu kembali dibunyikan. Ia berusaha membuang pikiran buruknya. Mungkin juga Mia terlalu berlebihan untuk menjaga diri. Dengan ragu Mia mulai segera memutar kunci rumahnya.

Netra Mia membesar dan itu terlihat jelas di wajahnya ada rasa rindu saat ia menatap gadis itu. Yang memakai setelan sweater putih, celana jeans hitam dan sneakers putih.

Bagai mimpi yang mungkin tak pernah menjadi kenyataan, Mia kembali bertemu dengan seseorang yang sangat berarti baginya. Sahabatnya, Emily Fischer.

Melihat Mia tak berkata apapun, Emily membentuk senyum untuk mencairkan suasana. “Mia! Apa kabar? Sudah lama nggak berjumpa, ya?” Gadis itu menghambur memeluk Mia yang masih setia berdiri.

“Emily …” Mia membalas pelukan itu. Semakin lama ia mengeratkan pelukannya dan butiran air matanya jatuh di pundak Emily.

“Maafkan aku selama ini menghilang tiba-tiba, Mia,” lirih Emily sambil terisak dalam pelukannya.

●•●•●•●        ●•●•●•●        ●•●•●•●            
“Ini teh kamu, Emily. Maaf, ya, aku cuma punya teh aja.”

“Gapapa, aku juga suka teh, apalagi teh buatanmu, Mia.”

Mia menyengir, lalu duduk di samping Emily. “Bisa saja, Emi.”

Emily mengambil gelas dan meminumnya. “Rasanya selalu sama seperti dulu …”

Emily menaruh gelasnya kembali. Dia mulai mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru rumah Mia. “Rumahmu masih gak berubah, selalu sama sederhana dan sejuknya.”

“Kamu benar, Emily. Sejak aku kembali tiga bulan lalu, rumah ini masih sama. Anehnya tidak ada debu sama sekali disini.”

“Mia ... aku boleh bertanya sesuatu tidak?"

"Kamu mau tanya apa, Emi?"

"Bagaimana akhir dari sidang itu?" tanyanya dengan rasa ingin tahu yang jelas terpancar dari wajahnya.

Dengan napas yang terengah-engah, Mia mencoba merangkai kata-kata untuk menjelaskan perasaannya. Pikirannya pun kembali melayang ke masa lalu, dimana dirinya dihadapkan hal tersulit.

Suasana di ruang sidang pengadilan begitu tegang. Hakim yang duduk di kursi tinggi dengan serius memandang ke arah penonton dan para pihak yang terlibat dalam kasus ini.

Mia, tersangka dalam kasus ini. Ia dengan wajah tegang duduk di kursi terdakwa sambil menunggu keputusan hakim. Di sisi lain, Hugo, anak dari korban pembunuhan. Dia duduk di bangku penonton dengan wajah penuh kekesalan dan amarah.

Hakim dengan tegas mengumumkan keputusannya, "Berdasarkan bukti yang ada dan pertimbangan yang matang, pengadilan menyatakan bahwa tersangka tidak bersalah."

Keputusan ini membuat Mia merasa lega, namun korban tidak menerima keputusan tersebut. Hugo merasa bahwa tersangka seharusnya dihukum lebih berat, bahkan dijatuhi hukuman mati.

Dalam keadaan emosional yang memuncak, Hugo meluapkan kemarahan dan kekecewaannya. Ia berteriak dengan lantang, "Ini tidak adil! Bagaimana mungkin tersangka bisa bebas setelah apa yang dia lakukan? Dia harus dipenjara!" Suaranya bergema di ruang sidang, menciptakan ketegangan yang semakin meningkat.

Namun, keputusan hakim sudah bulat dan tidak bisa diganggu gugat. Untuk menandai keputusan tersebut, hakim memukul palu di meja dengan tegas.

Bunyi palu yang keras menggetarkan ruangan dan menjadi simbol penutupan sidang ini. Semua mata tertuju pada hakim yang menunjukkan kekuasaannya.

"Hakim menyatakan bahwa aku tidak bersalah, Emily. Aku bebas," jawab Mia, yang mana pikirannya masih melayang ke masa lalu, tapi ia berusaha untuk tidak menggubris pikiran itu tentang wajah Hugo yang masih diingatkan dengan jelas terlihat sangat marah akan keputusan hakim.

Emily terlihat lega mendengar kabar tersebut. "Oh, Tuhan, betapa leganya aku mendengarnya!" serunya sambil menggenggam tanganku erat. "Apa yang kamu rasakan saat itu? Apakah kamu merasa lega?"

Mia tersenyum pahit. "Sebenarnya, Emily, perasaanku campur aduk. Tentu saja, ada kelegaan karena aku tidak harus menghabiskan sisa hidupku di balik jeruji besi. Tapi, aku masih trauma tentang satu hal." Mia menggantung ucapannya. Ia benar-benar merasakan dan tak bisa lupa bagaimana tatapan murid-murid pada dirinya di sekolah dan lingkungan disini.

"Aku tau kamu pasti merasakan trauma itu, tapi tetap ingat kamu tidak bersalah dalam kasus dua tahun lalu."

Mia mulai menarik nafasnya, berusaha mengendalikan dirinya untuk bercerita lebih lanjut. "Murid-murid di sekolah kita, banyak yang membully aku dan mereka terus mengatakan 'kamu pembunuh, tidak pantas untuk bebas'. Selain siksaan batin itu, aku masih harus merasakan ghibah para tetangga tentang diriku. Mungkin dengan hakim nggak memberikan keputusan aku bebas, aku masih bisa hidup tenang meski didalam penjara dan tidak akan melakukan bunuh diri di masa lalu akibat tekanan batin. Itu alasan kenapa aku dipindahkan papa ke luar kota, untuk memperbaiki mentalku."

Emily mencoba menguatkan Mia dengan kata-kata. "Mia, kamu tidak boleh terus menyiksa dirimu sendiri dengan pikiran-pikiran seperti itu. Kamu telah melewati sidang yang sulit dan berhasil membuktikan bahwa kamu tidak bersalah.  Jangan lupa keinginan hatimu, untuk mencari bukti dan membuktikan pada Hugo kalau kamu tidak bersalah."

Mia kembali menghela nafas dalam-dalam, mencoba menerima kata-kata Mia. "Kamu benar, Emily. Aku tidak boleh lemah terhadap traumaku, justru aku harus bisa melawan dan berdamai dengan rasa trauma itu."

Emily memainkan jari jemarinya, dia bingung untuk mengungkapkan perasaannya. Netra Emily menatap wajah Mia, yang ikut sama-sama menatap. 

“Maaf aku tiba-tiba menghilang, maaf aku nggak menemanimu saat kamu terpuruk dan maafkan bokap aku. Setiap aku mau mengirim surat, dia selalu melarang aku mengirim surat. Bahkan bokap aku sengaja pindah dari kota ini, dengan alasan pindah kerjaan.”

“Gapapa kok, aku mengerti alasanmu, Emily. Kalau boleh jujur, aku sempat kecewa sama kamu. Tapi, ada satu keyakinan bahwa kamu nggak akan meninggalkan aku dan pasti ada alasan kenapa kamu menghilang.”

“Aku bersyukur memiliki sahabat sepertimu, Mia. Makasih sudah mau menjadi sahabat aku.”

“Begitu’lah arti sahabat, selalu bersama dalam suka maupun duka,” balas Mia penuh kejujuran dibalik kata-katanya.

Terdengar Rika dan Riko mengeluarkan suara tidak nyaman akan keramaian. Mereka berguling-guling dan melakukan gerakan menguap.

Mia tertawa terhadap suara kedua anjing itu. “Sebaiknya kita kecilkan suara kita, Emily.”

“Iya maaf, aku kecilkan suara aku.”

Mia dan Emily tertawa sedikit suara menyadari kelakuan kedua anjing itu.

.                                 Bersambung...

Love's Unexpected PathWhere stories live. Discover now