Bab 7

4 1 0
                                    

Mia kembali ke kafe sebentar untuk mengambil motornya yang tertinggal. Namun, ketika ia mencoba menghidupkan mesin motornya, ternyata tidak berfungsi. Mia merasa bingung karena ia ingin segera menemui seseorang. 

Saat Mia sedang mencari solusi. Tiba-tiba Ethan, teman kerjanya, keluar dari kafe. Yang saat itu kafenya sedang sepi dan Ethan memilih melihat keadaan Mia. 

“Mia, apa yang terjadi dengan motor lo?"

“Sepertinya motor gue nggak mau menyala. Gue nggak tahu apa yang salah."

"Mungkin gue bisa bantu lo. Gue carikan teknisi motor. Bagaimana?"

"Makasih atas tawaran lo, Ethan."

"Lo emang mau kemana? Bukannya tadi lo pergi bareng pak Ryan, ya? Lagian lo pulang tanpa pak Ryan, terus tiba-tiba banget pergi saat jam kerja begini. "

Duh! Kenapa malah ditanya gitu? Gue ‘kan bingung mau jawab apa, mana motornya rewel, batin Mia. 

“Tadi papa gue telepon, kalau papa nggak bisa jemput adik gue dan minta gue jemput.” 

“Oalah, gue kira lo mau nemuin gebetan. Lo mau gue bantu pesanin taksi?” 

“Nggak usah, makasih tawarannya, Ethan. Gue pesan sendiri taksinya.” 

“Baiklah, gue masuk dulu, takutnya ada pelanggan.” 

Sebelum sempat Ethan melangkah. Mia berkata, “Ethan! Tolong titip absen gue pada Pak Manajer, ya!” 

Ethan memberikan satu jempol kepada Mia dan melangkah masuk ke dalam. Setelah Ethan masuk, Mia langsung memesan taksi melalui aplikasi di ponselnya. 

Selesai memesan, Mia menunggu di samping pintu masuk kafe. Agar nantinya Mia tahu dan tidak menyulitkan supir taksi mencari lokasi kafe. 

Beberapa saat kemudian, taksi pesanan Mia tiba di depan kafe. Mia naik ke dalamnya dan memberikan alamat rumah yang ingin dituju.

Taksi melaju ke arah timur, melewati jalan-jalan yang semakin ramai seiring dengan pagi yang menjelang siang. Mia duduk di belakang taksi, memandangi pemandangan diluar jendela sambil merenung.

Perjalanan taksi berlangsung dengan lancar. Taksi itu melaju melewati jalan-jalan perkotaan yang sibuk, dengan gedung-gedung tinggi dan kendaraan yang berlalu lalang. 

Mia melihat kota yang begitu hidup dan penuh energi, namun dalam hatinya ia merasa 

Setelah beberapa waktu, taksi itu mulai berbelok ke arah utara, meninggalkan keramaian kota dan memasuki daerah yang lebih tenang. Mia merasa semakin dekat dengan rumah yang ingin dituju.

Akhirnya, taksi itu berhenti di depan sebuah rumah yang terletak di ujung kota. Mia turun, dengan hati-hati membayar sopir taksi agar tak salah memberi uang, dan berterima kasih atas perjalanannya.

Mia masih berdiri di posisinya, sambil melihat rumah seseorang yang tak terlalu besar. Hatinya berdebar-debar, perasaannya campur aduk antara kegembiraan dan ketegangan. 

Mia melangkah mendekati rumah tersebut. Saat ia mengetuk pintu, Mia merasakan getaran kecil di perutnya. Pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan dan kekhawatiran. 

Apakah orang yang ia temui akan menerima kedatangannya? Namun, pikirannya kembali mengingat pesan dari pemilik rumah ini. 

Ingatan itu membuat Mia menenangkan dirinya sendiri, mengingatkan dirinya bahwa ia telah mengambil langkah ini dengan keyakinan dan harapan.

Ketika pintu itu perlahan terbuka, Mia melihat seseorang di baliknya. Wajah mereka saling bertemu dan kebahagian itu terlihat dari wajah pemilik rumah serta Mia.

"Halo, Pak Galen!"

"Nona, Mia! Sekian lama, akhirnya Anda kembali dari luar negeri."

●•●•●•●        ●•●•●•●        ●•●•●•●

"Nona, apa kabar Anda?"

"Aku baik-baik saja. Bagaimana kabar, Bapak?"

"Kabar saya sangat baik, Nona. Saat ini saya sedang mencari keberuntungan di dunia perkebunan sayur dan mencoba menanamnya di kebun belakang rumah saya."

"Wah, aku turut senang mendengarnya. Semoga usaha Bapak berhasil." Mia mengambil gelas tersebut dan meminumnya.

Galen Auden, dia seorang pria paruh baya yang bekerja sebagai penjaga. Untuk menjaga anak pertama dari keluarga Orson, sebelum perusahaan Orson bangkrut. Namun, Galen telah menentukan untuk bersumpah setia mengikuti keluarga Orson sampai kapan pun.

"Nona, Mia, apa Anda sudah mempersiapkan rencana?"

"Masih belum, aku baru kembali tiga bulan lalu. Apa Bapak ada saran?"

Mia berpura-pura tidak bilang memiliki rencana, agar ia bisa mendengar saran dari Galen. Untuk menentukan rencana selanjutnya.

"Anda harus menjadi orang terkenal dulu di kota ini."

"Terkenal, ya ... bakatku di seni, itu nggak akan membuat aku terkenal."

Mia berpikir, berusaha menemukan jawaban dibalik kata-kata yang dilontarkan Galen. "Menjadi seorang penari balet. Itu jawabannya, 'kan?"

"Benar, Nona. Saya telah menemukan beberapa acara yang mengikutkan tarian balet dan akan diselenggarakan dalam beberapa hari kedepan, setelah ulang tahun Hugo."

"Itu nggak mungkin untuk aku hadir dalam acara tersebut," ujar Mia dengan nada ragu.

"Nona, tenang saja. Saya bisa membantu Anda. Sebentar akan saya ambilkan berkas mata-mata yang saya lakukan dalam dua tahun ini."

Pria paruh baya itu melenggang pergi masuk ke dalam kamar. Tak berapa lama, Galen pun keluar kamar membawa tumpukan berkas. Dia menaruhnya didepan meja.

"Di dalam berkas itu berisi orang-orang yang menghancurkan perusahaan ayah Anda serta ikut campur dalam pembunuhan ibu Hugo."

Mia menatap serius berkas tersebut.

"Bapak sangat hebat dalam penyelidikan ini."

Mia tersenyum menandakan ia sangat puas dengan hasil kerja Galen.

"Aku minta maaf, Pak Galen, tapi aku mempunyai rencana. Persiapkan diri Anda, Pak Galen."

●•●•●•●        ●•●•●•●        ●•●•●•●

Pada sore hari, di sebuah rumah besar yang dikelilingi oleh taman yang indah. Keluarga besar Hugo berkumpul untuk pertemuan tahunan mereka

Setiap tahun, keluarga Hugo selalu datang pada pertemuan yang sering dilakukan dengan kakek dan keluarga besar.

Hanya saja, ada yang berbeda kali ini. Hugo dan David datang ke pertemuan tanpa mendiang Alina.

Pertemuan ini juga menjadi momen yang sangat ditunggu-tunggu oleh semua anggota keluarga.

Karena merupakan kesempatan untuk berkumpul, berbagi cerita, dan mempererat ikatan keluarga.

Edward Purnomo Harrington, Kakek Hugo, sosok orang tegas dan juga cukup perhatian, dia duduk di tengah-tengah mereka dengan senyum yang menghiasi wajahnya. Di sekelilingnya, ada para paman, bibi, dan sepupu.

"Apa kabar, Kakek?" tanya Hugo sambil memeluk kakeknya erat. "Aku sangat senang bisa bertemu dengan Kakek dan keluarga besar lagi."

Edward tersenyum dan membalas pelukan cucu pertamanya itu. "Ah, Hugo, cucuku yang tampan!"

.                                Bersambung...

Love's Unexpected PathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang