Prologue

10K 453 154
                                    

Moskow, Rusia
11.49 PM

Aku benci dengan hal-hal berbau romansa. Begitu pun ketika duduk manis di depan seorang pria dan mendengarkan segala celotehannya untuk menarik perhatianku. Mereka itu tidak mengerti. Sama seperti benda yang di letakkan di tempat tinggi, aku bukan seseorang yang mudah untuk di raih.

Jika kau ingin tahu, namaku Gracella Jennifer Jane, aku seorang arsitek.

Kota ini adalah salah satu tempat yang kudatangi untuk mengerjakan salah satu proyek besarku. Meski latar belakangku seorang perancang desain bangunan, tetapi aku juga turut menjalankan bisnis di bidang material dan properti. Seharusnya memang begitu, bukan? Jika aku tak punya cinta dalam hidup, setidaknya aku punya uang untuk aku habiskan.

"Jennie, paling tidak beri aku kesempatan. Aku mengejarmu sampai ke Rusia bukan untuk di tolak seperti ini!"

Burung jelek itu terus saja berkicau. Aku jadi semakin ingin mengabaikannya dengan berjalan cepat keluar dari restoran. Tapi rupanya, langkahnya terlalu besar untuk menarik pergelangan tanganku.

"Jennie, please? Apa ini masih tentang Victor?"

Aku tak suka nama itu di sebut.

"Jangan membawa-bawa namanya. Aku tidak mencintaimu. Dan aku tidak ingin mencintaimu. Aku benci pria. Dan aku tak percaya pada pria. Aku sudah cukup puas melihat hidupku hancur satu kali. Jika aku memberimu kesempatan, itu sama saja dengan aku membuka peluang untuk menghancurkan hidupku lagi, 'kan? Jadi, hapus saja mimpimu untuk mendapatkanku. Tidak ada tempat untuk pria lagi di hatiku."

Setelah itu, aku melepaskan tangannya. Tetap berjalan dengan kecepatan sedang walaupun di belakangku dia masih mengejar.

"Mister, Taeyong Lee. Stop. Jangan ganggu dia."

Suara itu aku mengenalnya. Dia Chivalry Johnny Dexter, sekretaris pribadi sekaligus bodyguard-ku. Dari spion mobil aku dapat melihat, dia sedang mencegat Taeyong untuk berhenti merecoki suasana hatiku yang sedari tadi memang sudah buruk. Sesungguhnya, ini bukan pemandangan yang perlu ku tonton lama. Ku putuskan untuk menghidupkan mesin mobil dan mengendarainya tanpa arah dan tujuan yang jelas.

Kota ini sangat indah. Tapi tidak dengan kenangannya. Dulu aku pernah berkuliah di sini, pernah jatuh cinta di sini dan pernah patah hati di tempat ini. Tak sama seperti sekarang, aku dulu adalah gadis gila yang rela melakukan apapun untuk seseorang yang ku sukai.

Mengingatnya membuatku muak. Karna aku jadi tersadar betapa bodohnya aku yang dulu.

"Victor, kenapa kau kehujanan? Bukankah kau punya payung?"

"Payungnya aku berikan pada Olivia. Hujannya sangat deras, aku takut dia jatuh sakit. Kau sendiri? Kenapa kau kehujanan juga? Bukankah kau selalu berpergian membawa payung?"

"Payungku itu cuman satu. Dan aku sudah memasukkannya ke dalam tasmu."

Aku sedang tidak mengiris bawang, tetapi kenapa mataku perih? Itu belum setengah dari luka yang dia buat tetapi aku sudah ingin menangis.

Tak lama, ku tepikan mobilku untuk menenangkan diri. Merasa sedih untuk sesuatu yang bodoh ini sungguh membuatku muak hingga ingin menghancurkan sesuatu.

Padahal lima tahun sudah berlalu sejak kejadian itu, tetapi mengapa aku masih lemah seperti ini?

Ku alihkan pandanganku ke jendela, ternyata jalanan terlihat sepi. Aku tidak tahu, apa orang-orang yang sudah tertidur atau memang aku yang sedang tersesat. Tapi aku merasa sedikit lega ketika melihat sorot lampu dari kejauhan. Setidaknya, tak hanya aku manusia yang lewat disini.

𝐌𝐎𝐌𝐌𝐘 𝐉𝐀𝐍𝐄Where stories live. Discover now