Chapter 2| His Duplicate

3.4K 375 206
                                    

Mungkin jika di hitung, sudah sepuluh detik mata kucing itu tak berkedip. Duduk memandang dengan raut wajah terkejut, hingga membuat objek yang dia pandang terdiam bingung.

Sesungguhnya pertemuan mereka ini memiliki efek samping yang lupa Jennie antisipasi. Dia tak menduga bahwa anak kecil yang kabarnya tak pernah dia tanya selama 16 tahun itu telah tumbuh menyerupai cinta masa lalunya. Mulai dari mata, hidung, bibir, bentuk wajah bahkan sampai ke tinggi badannya, semuanya tersalin dengan sempurna.

"Gen ayahmu sangat kuat."

"Maksudnya?"

"Semuanya sama, mungkin kebrengsekan kalian juga tak ada bedanya."

Setelah mengeluarkan kata-kata yang tak enak untuk di dengar, Jennie pun membuka pintu mobilnya tanpa aba-aba. Sedangkan Harvey yang berdiri di luarnya reflek mundur untuk memberinya jalan.

Ternyata Jennie masih saja sama seperti dulu. Dingin, arrogant, tak tersentuh. Meski waktu sudah berlalu belasan tahun tetapi wajahnya seperti sedang menipu umur. Dia selalu terlihat cantik dan elegant. Memiliki wangi yang menyejukkan, serta gaya berpakaian yang terkesan seperti wanita kaya keturunan bangsawan.

Kerutan di wajahnya pun sama sekali tak terlihat. Entah karena dia sering perawatan atau karena dia memang tak punya banyak ekspresi di wajahnya. Sebab selama Harvey mengenal Jennie, hanya ekspresi datar yang sering Jennie tunjukkan. Tidak ada yang namanya senyum apalagi tertawa.

Melihatnya seperti itu Harvey jadi bertanya-tanya. Kesalahan apa yang sudah di lakukan ayahnya hingga wanita itu tak memiliki sisi kehangatan?

Sedalam apa luka yang tertoreh di hatinya hingga dia menjadi sedingin es?

Jika bahagia itu butuh alasan, apakah mungkin Harvey dapat menjadi salah satu alasannya?

Di saat Harvey sedang sibuk dengan pikirannya sendiri, tiba-tiba sebuah kunci melayang ke arahnya.

"Angkat koperku."


°°°

Aeris Annaesly Jane, itu nama orang tua Jennie. Meski mereka tinggal di rumah yang besar tetapi mereka tidak memiliki anggota keluarga yang banyak. Sebab apa? Sebab, Aeris hanya memiliki satu orang anak. Dan itu hanya Jennie seorang.

Jennie sendiri sangat menyayangi Aeris. Hanya saja dia tak pernah mengungkapkannya secara gamblang. Lagi pun baginya kata-kata tidak penting, yang penting adalah aksi. Oleh karena itulah dia kembali.

Membuka sebuah pintu, Jennie pun menemukan ibunya sedang berlari di atas treadmill.

"Hm, kemarin ada yang menghubungiku seolah-olah ajalnya sudah dekat. Tapi lihat lah sekarang, jika aku membuatnya berlari bersama kuda maka dia yang akan menang."

"Karena jika aku tidak mengungkit soal kematian kau tidak akan pulang." jawab ibunya sembari bergegas datang menghampirinya.

"Ibu..." Jennie tampak manatapnya dengan jengah. Dia tidak suka topik obrolan ini.

"Selama ini aku selalu memenuhi egomu, Jane. Mulai dari menyengolahkanmu ke Rusia, mengiyakan keingananmu menjadi arsitek, membiarkanmu bekerja jauh dari rumah dan bahkan menerima keputusanmu mengadopsi seorang anak. Tapi ketika aku memintamu pulang, kau tidak datang. Aku kecewa."

"Tapi aku sudah pulang."

"Dan kemudian pergi setelah tahu aku baik-baik saja."

𝐌𝐎𝐌𝐌𝐘 𝐉𝐀𝐍𝐄Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu