Bab 21

44.7K 1K 140
                                    

Baby bisa menghembuskan nafas lega ketika suhu tubuh Boy perlahan turun sudah tidak setinggi tadi. Ia mengelus wajah pucat kekasihnya itu dengan gerakan pelan, menyentuh dahinya yang tertempel plaster penurun panas.

Kekasihnya itu sukses membuatnya merasa khawatir karena sejak semalam susah sekali ia hubungi. Pesan-pesan bahkan telponnya tak Boy angkat. Baby sudah berpikir macam-macam takut terjadi sesuatu hal yang buruk pada Boy, karena pengalamannya jika Boy tidak ada kabar biasanya terjadi hal buruk yang menimpa laki-laki itu.

Maka tadi pagi-pagi sekali saat matahari bahkan belum muncul, Baby memilih mengecek langsung pergi ke apartamen Boy. Benar saja Baby menemukan Boy sedang meringkuk di atas kasur dengan tubuh menggigil dan lemah tak berdaya.

Baby rasanya ingin marah saja saat Boy sama sekali tak memberitahu jika keadaanya sedang tidak baik-baik saja. Jika tahu mungkin sudah sejak semalam ia bergerak memberi pertolongan. Namun, kekesalan dalam dirinya bisa Baby tahan ketika dengan nada lemas dan suara serak Boy menjelaskan jika sejak semalam tubuhnya demam juga muntah-muntah hebat yang membuatnya tak memiliki tenaga untuk sekedar mengangkat telpon darinya.

Memang benar tadi ketika Baby suapi makan untuk minum obat, Boy juga sempat muntah. Hanya 4 sendok bubur dan sepotong kecil apel yang bisa masuk ke dalam perut Boy.

"Lain kali kalo ada apa-apa cepat hubungi gue, Kak. Lo bikin gue khawatir" ucap Baby, pelan.

"Pusing, sayang" rengek Boy, ia meraih tangan Baby yang semula mengelus wajahnya untuk ia dekap.

"Mau peluk" pinta Boy, dengan suara seraknya.

"Gue harus kerja, Kak" ucap Baby, mengusap dada Boy yang sedikit basah oleh keringat. Namun tak ayal ia bergerak menurunkan tubuhnya ikut berbaring disebelah Boy setelah mengganti kaus basah yang Boy pakai agar terasa lebih nyaman. Baby membawa tubuh Boy masuk dalam dekapannya meski kini ia harus bisa menahan hawa panas yang keluar dari tubuh Boy. Hembusan nafas panas Boy terasa menerpa dadanya.

Sekitar 5 menit mereka ada dalam posisi tersebut, Baby bisa merasakan hembusan nafas Boy perlahan mulai teratur. Saat menunduk bisa Baby lihat mata kekasihnya itu sudah terpejam. Baby mengecup sekilas puncak kepala kekasihnya itu lalu dengan perlahan melepaskan belitan tangan Boy pada tubuhnya. Meski sebenarnya tidak tega meninggalkan Boy sendirian, ia harus segera bersiap-siap untuk pergi bekerja.

****

Hari ini tak jauh berbeda dari hari-hari sebelumnya, pasien di rumah sakit cukup ramai. Baby harus fokus menangani pasiennya sedangkan pikirannya bercabang pada Boy yang hanya sendirian di apartemen dalam keadaan tak berdaya.

Di jam makan siang sebenarnya Baby ingin pulang sekedar mengecek keadaan Boy, tapi sepertinya waktunya tak cukup. Ia hanya bisa memesankan Boy makan siang.

Baby bisa merasa sedikit kelegaan ketika Boy mengabarkan jika dirinya tak lagi sendirian di apartemen, namun ada Reza yang menemaninya. Boy juga sempat mengirim foto jika laki-laki itu sudah menerima makanan yang Baby pesankan.

Namun, Baby mendapat pesan dari Reza jika Boy kembali memuntahkan makanannya. Baby sudah meminta kepada Reza untuk membawa Boy ke rumah sakit saja, tapi Reza berkata Boy menolaknya.

Sepanjang bekerja Baby tidak berhenti melirik pada jam yang melingkar dipergelangan tangannya. Hari ini jarum jam terasa berputar lamban sekali. Hingga akhirnya sore hari tiba, Baby bisa pulang bersamaan dengan dokter penggantinya tiba.

Tujuannya langsung pergi ke apartemen Boy. Mungkin ia akan menginap disana. Baby tak perlu khawatir perihal pakaiannya karena ini bukan pertama kalinya ia menginap, ada beberapa bajunya yang sengaja Baby tinggal di sana.

Baby Boy [21+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang