03. Deniability

627 94 18
                                    

Deniability dē-ˌnī-ə-ˈbi-lə-tē  : kemampuan untuk menyangkal sesuatu terutama atas kurangnya informasi resmi. 

˗ˋˏ ♡ ˎˊ˗

Hari ini akhir pekan, Janu sudah berniat sejak kemarin untuk menghabiskan akhir pekannya untuk mengerjakan storyboard miliknya. Namun, nyatanya, niat hanya sebatas niat. Sudah dua jam berlalu sejak ia duduk di depan komputer miliknya, namun kanvas di layar tidak kunjung mendapatkan garisan, bahkan setitik noda pun di atasnya.

Janu mencoba fokus, namun percakapannya dengan Mahesa semalam kembali berputar di memori kepalanya seperti sebuah kaset rusak.

Padahal, semalam, sesampainya ia di kost, ia tidak memikirkan apapun. Janu langsung membersihkan diri dan tidur―rasa kantuknya tiba-tiba saja memukulnya begitu saja; membuatnya terlelap sampai fajar menyingsing.

Tapi sekarang, kenapa Janu justru teringat?

Kedua alis Janu menukik. Bibirnya manyun. Air wajahnya berubah masam. Sambil bermain-main dengan stylus pen yang berada di tangannya, matanya hanyalah menatap kosong pada layar yang menyala.

Janu masih tidak paham dengan perkataan Mahesa. Layaknya Senja, Mahesa juga suka berguyon dengannya. Dia bahkan terkadang tidak tahu, saat Mahesa sedang serius atau bergurau dengannya. Seperti halnya, semalam.

Dia benar-benar tidak tahu seorang Mahesa Nararya itu sebenarnya hanya sedang bercanda atau tidak semalam. Lagipula, kalau Mahesa benar-benar serius pun, justru semakin membuatnya bertanya-tanya; bagaimana bisa?

Terlebih perkataan Senja kemarin saat makan siang pun sama sekali tidak membantu. Dan, kenapa juga suara Senja ikut berputar di kepala seperti sebuah iklan berulang yang menyebalkan?

"...banyak cowok yang sebenarnya naksir lo..."

Decakan pelan keluar dari mulutnya.

Di dalam dunia imajinernya, Janu bisa membayangkan dirinya kini berusaha memukul Senja yang tengah memeletkan lidah, tertawa jahil, dan berkata, "Liat, gue bener, kan?"

Ah, benar-benar menyebalkan!

Janu benar-benar merasa sebal dengan Mahesa Nararya dan juga Senja Gunawan. Tapi, Janu lebih merasa sebal pada dirinya sendiri. Karena kenapa juga, dia harus kepikiran dengan perkataan dua orang itu.

Ah.

Tapi dari semuanya yang menyebalkan itu sepertinya seseorang bernama Sagara.

Boleh tidak, sih, Janu mengatakan dirinya membenci Sagara sekarang?

Sagara itu anak baik, Janu tahu―kalau tidak, tidak mungkin ia mau membiarkan dirinya nebeng pulang semalam. Tapi, masalahnya, Sagara itu juga salah satu alasan yang membuat Janu tidak bisa fokus sedari tadi!

Alih-alih mampu memvisualisasikan naskah yang ditulisnya menjadi sebuah gambaran dengan sinematografi yang ia inginkan, justru wajah Sagara yang tersenyum padanya lah yang terbayang. Kurva itu memang sebuah candu. Tapi, bisa tidak, senyuman seharga jutaan dollar itu berhenti untuk mengusiknya sebentar?

Bahkan hanya teringat dengan pahatan kurva itu berhasil membuat jantung Janu begitu berisik sedari tadi layaknya sebuah televisi rusak yang menyala di tengah malam―tapi tentu saja, Janu tidak akan mengakuinya.

Janu menggeleng-gelengkan kepalanya kuat-kuat; menepis segera pikiran konyol yang berputar di kepalanya.

Tangannya menjatuhkan lembaran skrip yang dipegang tangan kirinya. Hela nafas panjang lalu keluar dari mulutnya. Tampaknya, Janu memang butuh suasana lain. Bisa jadi imajinasinya tersendat lantaran hanya menatap hal yang sama selama seminggu ini.

Fudanshit [SungJake]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang