•Tiga

1.2K 161 6
                                    

Sedah merasa pegal di bagian punggung karena tidur hanya beralaskan tikar saja, rupanya Trengginas tidak setiap hari pulang dan Sedah terpaksa sendirian di rumah. Mulai terbiasa menyalakan api untuk penerangan juga memasak dengan kayu bakar meski sering kali matanya merasakan perih.

Menggerai rambut yang panjangnya hanya sebatas leher, Sedah melangkah keluar ketika melihat para gadis seusianya melintas. Sedah mencegat membuat empat gadis itu terkesiap karena Sedah merentangkan tangan seolah penjahat yang menghentikan mangsanya ditengah jalan.

"Kalian hendak kemana?"

Sedah memposisikan dirinya tegak ketika empat gadis bersanggul dan memakai kemben juga kain jarik seperti dirinya menghentikan langkah, meneliti dari atas sampai bawah siapakah gerangan yang berani bersikap seperti itu.

"Kau anaknya Bhayangkara Trengginas, ya?"

Berkacak pinggang, Sedah menganggukkan kepala.

"Aku ingin ikut, boleh tidak?"

Keempat gadis itu saling melirik satu sama lain membuat Sedah menghela nafas, sepertinya mereka terganggu dengan kehadiran dirinya yang kesepian berada disini.

"Boleh saja," jawab satu diantaranya.

Kemudian dengan senyum sumringah Sedah ikut bersama mereka, melangkah diatas tanah bertekstur kering dan warnanya coklat kering. Sedah melihat kaki-kaki mereka tampak kokoh tanpa alas sedangkan dirinya memakai sandal jepit yang terbawa dari masa depan selain ponsel yang setiap hari ia bawa dan selipkan di lilitan kain jarik yang ia pakai.

"Namaku Sedah," ujarnya singkat.

"Aku Tungga. Sedah, aku tak pernah melihatmu sebelumnya."

Sedah termangu sejenak ia tak dapat menjawab Tungga.

"A-ku, aku tinggal di pesisir pantai bersama ibu."

Kemudian keempatnya mengangguk seolah paham.

"Kau bisa mencuci 'kan?"

Kerutan di dahi Sedah terlihat jelas dengan pertanyaan yang dilayangkan Tungga kembali. Mencuci? Kalau pakai mesin Sedah jelas bisa, tinggal memasukan baju kotor, deterjen kemudian memencet tombol, keluar-keluar bersih dan kering.

"Memangnya kita hendak kemana?"

"Bertemu Nyi Darma."

"Nyi Darma itu siapa?"

"Kepala pelayan, Sedah. Kau tidak tau?"

Sedah menggelengkan kepala hingga ia dapat melihat bangunan istana di depannya. Gapura terpahat rapi, susunan batu bata merah nampak menawan, Sedah dibuat termangu melihat pendopo tanpa tanpa dinding dengan tiang-tiang kayu di sekitar istana dan bangunan utama untuk para petinggi didalamnya.

Sibuk memperhatikan area luar istana dengan beberapa Bhayangkara berseliweran, Sedah tak sadar jika langkah keempat teman barunya terhenti membuat dirinya menubruk punggung Tungga membuat keseimbangannya runtuh.

"Sedah, kau ini!" Tungga tampak marah pada Sedah.

"Maaf, aku tidak sengaja."

Disaat yang bersamaan Tungga berlutut juga ketiganya, Sedah yang bingung kemudian melihat ke depan dimana ada Mahapatih melewati mereka, berjalan tampak tak sejajar dan berdiri beberapa centi dari seorang pria yang tampaknya sangat dihormati. Sedah bisa melihat Mahapatih Gajahmada menaikkan sebelah alis karena Sedah hanya diam membuat Tungga menarik kain jariknya agar berlutut.

"Mohon ampun yang Mulia, dia baru pertama kali menginjakan kaki di istana," Tungga bermaksud menunjuk Sedah yang terlihat norak karena mengamati bangunan-bangunan yang jujur saja Sedah terkagum melihatnya.

LANGIT MAJAPAHITKde žijí příběhy. Začni objevovat