•Sanga

770 109 9
                                    

Udara dingin pesisir pantai menyapa Sedah ketika dirinya lebih dulu bangun dari pada Dawuh. Mendapat tumpangan tidur dari salah satu warga pelabuhan Canggu membuat keduanya bisa istirahat sebelum kembali pulang ke Trowulan.

Bahu telanjangnya menggigil namun udara dingin itu justru membuat perasaan Sedah dilanda ketakutan. Maharaja Hayam Wuruk, Mahapatih Gajahmada, dan Putri dari kerajaan Sunda masih saja memenuhi kepala Sedah dan tidak ingin beranjak pergi. Pemikiran itu masih bernaung santai tanpa peduli jika si pemilik kepala ingin mengusirnya jauh.

Bagaimana dengan Jogjakarta?

Berat rasanya jika benar kesempatan hidup yang Sedah miliki akan berakhir disini. Mungkin saja di masa depan, Chika dan Eyang tengah kebingungan karena dirinya lenyap begitu saja. Tidak meninggalkan jejak apapun selain debu-debu di gudang rumah Eyang yang menjadi saksi kepergiannya.

”Melamun saja, nyai?”

Suara serak dalam seorang pria membuat Sedah memandang tanpa minat. Rumah yang di kelilingi pagar batu bata merah menjadi pelindung rumah kecil ini dari manusia yang berhadapan sekarang. Ya mungkin saja.

”Aku tau kau hebat, tapi jangan datang secara tiba-tiba.”

”Maaf, Adindaku.”

”Termaafkan.”

Saat kemarin melihat Putri Dyah Pitaloka menatap Mahapatih, jelas perasaan aneh muncul dalam rongga dadanya. Sedikit marah dan kesal, Sedah tak tau alasan dibalik itu semua dan apa berhak ia mengakui jika saat ia duduk berdua dibawah rembulan bersama Mahapatih malam itu, Sedah telah terjatuh dan berharap lebih padanya.

”Ada apa kau kemari, yang Mulia?”

”Kecantikanmu membuat diriku rindu, Adinda.”

Seketika Sedah berandai, jika adegan ini ada pada masa depan. Mungkin detik ini juga Sedah akan memukul Mahapatih karena telah melontarkan kalimat manis pada seorang gadis yang belum pernah tersentuh cinta ini.

”Dasar jayus!”

”Apa itu kosakata dari masa depan?”

”Iya, yang Mulia mau ku ajak ke masa depan?” tanya Sedah asal. Ia melangkah melewati pagar, keluar dan menerima uluran tangan dari Mahapatih yang menyambutnya.

”Aku sudah mengetahui seluk beluk semesta dan seisinya, aku juga tau dimana rumahmu di masa depan, Adinda.”

”Itu artinya yang Mulia mampu memulangkan hamba ke masa depan?” nada lirih Sedah mampu menyayat hati Gajahmada, manik jernih gadis yang ia tunggu selama ini rupanya ingin kembali ke rumah tempat dimana ia dilahirkan kembali.

”Kau ingin pulang?”

Berdesir, darah di sekujur tubuh Sedah terasa mengalir. Tak mampu menjawab pertanyaan Mahapatih. Hari masih terasa gelap dan angin masih berhembus membuat Gajahmada memberikan kain berwarna kuning yang semula berada di tangannya, bahannya terasa lembut pada Sedah, guna melindungi bahu telanjangnya dari sapuan angin yang membelai kulitnya. Rasanya Mahapatih Gajahmada ingin menjadi angin itu agar senantiasa menyapu lembut disana.

”Kangmas?”

”Iya, Adinda.”

”Aku Sridara bukan? Bolehkah aku memanggilmu seperti itu?” masih berada di depan rumah, Sedah mengusap lengan Mahapatih seraya menatap wajah tegas yang pria itu miliki.

”Aku mencintaimu, Sedah.”

Ucapan itu berhasil membuat dua sudut bibir Sedah tertarik, tidak peduli siapa yang ada di hadapannya, Sedah melangkah mendekat dan menubruk tubuh Mahapatih untuk ia peluk, rasa hangat tiba-tiba menjalar dan Sedah tidak ingin segala kemungkinan itu terjadi termasuk hilangnya sang Patih karena mitos antara cinta segitiga Maharaja Hayam Wuruk, Putri Dyah Pitaloka dan dirinya, ”aku juga mencintaimu.”

LANGIT MAJAPAHITWhere stories live. Discover now