•Sekawan Welas

709 90 2
                                    

Jogjakarta selalu menjadi alasan Sedah pulang ketika libur bekerja dulu. Namun, kehilangan ibu selalu terbayang jelas dan perasaan rindu itu kian tak terbendung. Terkadang, menjadi petugas Museum memang membuatnya jenuh, bergelut dengan masa lampau setiap hari. Namun, kini hal yang tak ia sukai dulu justru adalah hal yang ia syukuri.

Rumah eyang ada di daerah Bantul dan untuk mencapainya, Chika datang menjemput ke stasiun dengan wajah penasaran karena Sedah tidak sendirian. Ada satu pria tampan, pria sangat tampan, dan satu gadis manis yang entah siapa.

”Mbak!”

”Chika!”

Kedua saudara satu nenek itu saling berpelukan di antara keramaian kota. Tak sadar mengatensikan tiga manusia dari masa lalu dengan interaksi ceria dari keduanya. Seolah menyalurkan perasaan rindu yang sudah lama tertahan.

”Aku kangen lho, mbak. Kenapa sih kabur dari rumah eyang?”

”Kabur?”

Sedah melirik Mahapatih Gajahmada sekilas, pria dengan harum menenangkan itu terlihat mengedarkan pandangan ke segala arah, menatap kagum pada jalanan mulus di depannya. Tak beda jauh dengan Mahapatih, Mpu Prapanca dan Dawuh pun sama kagumnya dengan kota yang mereka datangi. Jogjakarta memang memiliki ciri tersendiri kan?

”Karena gak mau bantuin aku mindahin lukisan ya?”

Chika tertawa seraya merangkul tangan Sedah dan melirik ketiga orang lainnya, peka terhadap tatapan saudaranya itu, Sedah memperkenalkan ketiga manusia yang sedang bersamanya ini. ”loh! Dia bukannya suami mbak ya?”

Chika menunjuk wajah Mahapatih Gajahmada dan selanjutnya gadis itu merasakan sakit karena Mpu Prapanca menepis tangannya yang tak sopan, mendesis kesal, Chika berbisik pada Sedah. ”kalo itu dua lagi siapa, mbak?”

”Temen.”

Chika membulatkan bibir, ”ganteng tapi kasar, ora seneng.”

”Chika, emangnya aku udah nikah?”

Mendengar pertanyaan Sedah, Chika lantas tertawa.

”Mbak sendiri lho yang pengen di lukis pas nikahan. Aku bukannya jadi pager ayu malah jadi pelukis mbak sama mas Mada,” Chika memberengut kemudian tertawa lagi seraya mengulurkan tangan pada Dawuh, mengajaknya berkenalan.

” ... mbak ini kenapa sih, hilang ingatan apa gimana?”

Sedah terdiam lagi, ketika dirinya melirik Mahapatih Gajahmada, pria itu justru tengah jongkok karena mendapati kucing terus mengelilingi kedua kakinya, berputar disana seolah kaki Mahapatih adalah arena main yang asik.

”Aku Chika Adhiswara, kamu siapa?” tanya Chika pada Dawuh. Gadis yang memakai hoodie biru pastel namun rambutnya tetap tergulung itu membalas uluran tangannya.

”Dawuh.”

”Kalo dia siapa, mbak?”

Chika bertanya lagi seraya menunjuk Mpu Prapanca, namun pria itu rupanya tengah sibuk dengan kuda delman yang berjarak beberapa meter dari tempat mereka berdiri.

”Mpu Prapanca.”

”Ganteng tapi botak,” komentar Chika.

”Yaudah, mobil kamu dimana, Chik?”

”Tuh!” kemudian Chika berjalan lebih dulu, Sedah melihat Mahapatih Gajahmada masih dengan kucingnya turut berjongkok kemudian memandang wajah pria dengan rahang tegang dan pesona kharismanya yang Sedah rasa mampu memikat siapa saja termasuk dirinya, ”kangmas?”

”Ya, Adinda.”

”Ayo pulang! Kau ingin ku tinggalkan?”

”Tidak.”

LANGIT MAJAPAHITWhere stories live. Discover now