•Tiga Welas

638 90 6
                                    

Menuangkan alkohol pada kapas pembersih, Sedah menyapukannya pada luka di sisi perut Mahapatih. Tak dalam memang, namun berhasil membuat Sedah merasa ngilu. Jika di pikir mendalam, serangan keris yang ia dapat juga tak sampai organ namun mampu membuat Sedah tak sadarkan diri beberapa hari.

Mahapatih Gajahmada sudah berganti pakaian, pria itu tampak normal dan tampan sekali dengan balutan kemeja meski pria itu sempat menolak karena tak biasa memakai atasan. Sedah sempat kesal, di masa depan apa iya Mahapatih akan terus bertelanjang dada, ya walaupun Sedah tidak bisa memungkiri jika tubuh Gajahmada memang gagah.

Beralih pada dua manusia lain, Sedah melirik Dawuh.

"Kalian tak pegal berdiri sedari tadi?"

"Mohon maaf, Sedah. Aku tak bisa duduk sejajar dengan kalian. Mau bagaimana pun kau adalah kekasih Mahapatih."

Sedah tersenyum mendengarnya namun ia tetap menarik tangan Dawuh pelan dan menyuruh temannya itu duduk begitupun dengan Mpu Prapanca, "ini duniaku, kau juga temanku, tak ada kasta, jadi duduklah sama rata. Ya kan, Kangmas?"

Sedah menunggu respon Gajahmada dan pria itu membalasnya dengan senyuman kecil menghangatkan.

"Disini ramai," ungkap Mpu Prapanca.

Terakhir Sedah menutup luka di perut Mahapatih Gajahmada dengan perekat dan membereskan peralatan medis itu pada plastik putih yang ia beli di apotek.

"Ini namanya stasiun."

Sedah memberitahu pada Mpu Prapanca yang terus menelaah lalu lalang manusia yang terlihat beda di jamannya.

"Pria disini jelek-jelek."

Setelah mengatakan itu Dawuh menutup mulutnya.

"Maaf, Sedah. Aku tak bermaksud."

Bukannya marah Sedah justru tertawa membuat Dawuh yang beberapa detik lalu di landa rasa bersalah sedikit meringan karena ternyata Sedah sama sekali tidak kesal.

"Kalau Mpu Prapanca dan Mahapatih hidup di jamanku, mungkin mereka berdua bisa menjadi artis terkenal, Dawuh."

"Apa itu artis?" tanya Mahapatih Gajahmada.

Pria itu rupanya mendengar pembicaraan para gadis.

"Seniman, penyanyi, pemain film."

"Apa itu film?" tanya Mahapatih lagi.

Sedah menggaruk belakang kepalanya. Ia kebingungan hendak mendeskripsikan secara sederhana agar ketiga manusia dari masa lalu ini mengerti dengan apa yang ia bicarakan.

"Pementasan, akting." jawab Sedah lagi. Ia sedikit ragu.

"Hah?" Mpu Prapanca turut melongok mendengarnya.

"Argh, entar deh kita nonton film ya."

Sedah frustasi menjelaskannya dan ketika mendengar announcer, ia beranjak mengajak ketiganya untuk mendekat agar tak hilang di keramaian. Sedah memegang empat tiket kereta api yang akan mengantarkannya ke Jogjakarta.

"Aku takut."

Sedah mendongakkan kepala melihat wajah Mahapatih.

"Apa yang kau takutkan, Kangmas?"

"Tatapan para wanita disini," ujarnya.

Sedah mengedarkan pandangan dan benar saja ia melihat beberapa perempuan memperhatikan Mahapatih Gajahmada terang-terangan, bahkan di antaranya mengarahkan kamera membuat Sedah kesal. Padahal merekam seseorang bahkan sampai menyebarkannya ke khayalak ramai sangat dilarang dan ada undang-undangnya.

LANGIT MAJAPAHITWhere stories live. Discover now