•Gangsal Welas

800 102 5
                                    

Mbah kakung dan Eyang putri sepertinya memiliki rahasia yang tak pernah Sedah tau. Pasangan renta namun masih terlihat segar bugar itu menyambut kepulangan Sedah yang katanya hanya pergi ke ibu kota untuk beberapa waktu. Chika mengatakan jika Sedah pergi sudah lama, terhitung sejak membersihkan gudang, sudah enam bulan Sedah pergi diam-diam dari rumah. Dan anggapan orang rumah adalah Sedah hanya terlalu bersedih setelah kepergian ibu.

Mbah kakung berbicara bersama Mahapatih, terlihat sangat sopan sekali sampai membuat Sedah terheran-heran. Harusnya, Mbah kakung bersikap biasa saja karena jujur Mahapatih Gajahmada terlihat seperti pria normal dan bukan manusia dari masa lalu. Hari sudah malam, Dawuh dan Mpu Prapanca bahkan sudah masuk ke kamar sedari tadi.

”Kangmas.”

Sedah mendekat kala Mbah kakung sudah pergi menjauh. Chika menemani Mbah kakung masuk ke kamar dan ketika mendengar suara Sedah, Mahapatih Gajahmada memutar kepala kemudian tersenyum mendapati permaisurinya.

Sedah duduk bersimpuh di samping Gajahmada, di sebuah pendopo rumah Mbah kakung dan eyang putri dengan posisi seperti ini bersama Mahapatih, Sedah merasakan kehangatan terlebih pria itu masih mempertahankan senyuman.

”Ada apa, Adinda? Kau mau mengajakku tidur ya.”

”Ish ... ”

Sedah mencubit tangan Mahapatih dan merotasi matanya.

Hingga tak lama suara Chika menginterupsi keduanya.

”Jangan mesra-mesraan terus, tidur mbak, mas!”

Sedah melihat Chika cekikikan kemudian tak lama, gadis itu pun berlalu. Ini yang membuat Sedah heran, mengapa Mbah kakung dan eyang putri pun bersikap layaknya Mahapatih ini adalah suaminya, seolah Sedah memang sudah menikah.

Hingga kilasan apa kata Hayam Wuruk tiba-tiba terlintas.

”Hamba berani bersumpah yang Mulia, hamba bukan seorang permaisuri Mahapatih. Hamba hanya perempuan kaum Sudra yang suaranya ingin didengar, Mahapatih itu sudah lancang mengintip hamba dan Dawuh di sungai.”

”Kau permaisuri Patihku, nyai. Memangnya seorang suami tidak boleh melihat kemolekan tubuh istrinya sendiri.”

Permaisuri? Itu artinya apakah ia harus melayani Patih?

”Kau melamun?”

Sentuhan Mahapatih di tangannya membuat Sedah terkesiap hingga membuat pria itu terdiam, ”ah, tidak yang Mulia.”

”Kau sudah mengantuk?”

”Sudah.”

”Aku belum.”

Maksudnya? Sedah memukul kepala menghilangkan apa yang sedang ia pikirkan. Mahapatih Gajahmada yang melihat itu menggapai tangan Sedah agar tidak melakukan hal itu.

”Yasudah, mari kita tidur.”

Deg.

Meski jantungnya berdegup, Sedah tetap menerima uluran tangan Mahapatih kemudian melangkah pergi meninggalkan pendopo. Rumah Mbah kakung terdiri dua bangunan, ada rumah utama yang berada di belakang pendopo besar ini dan rumah samping yang di isi pakde bukde, ”ini kamarmu?”

”Iya, kalau pulang ke Jogja.”

”Aku mendengar dari Mbah kakung, kau bekerja?”

Sedah menutup pintu pelan-pelan, ia mencoba mengulur waktu. Jantungnya bertalu-talu mengingat bersama siapa ia di kamar. Berduaan bersama Mahapatih? Sedah gugup sekali.

”Empuk,” ujar Mahapatih ketika dirinya duduk di ranjang.

Bersila.

”Kamarku di Trowulan tidak beda jauh dengan ini, Adinda. Jika kita kembali, maukah kau tinggal bersamaku nanti?”

”Apa kita memang harus kembali ke Majapahit, kangmas?”




•••





Sedah membawa Mahapatih Gajahmada, Mpu Prapanca, dan Dawuh berjalan-jalan. Jelas bersama Chika yang sedari tadi mendumel karena panas. Maka dari itu, membawa payung menjadi solusi. Entah mengapa Sedah merasa Dawuh memisahkan diri seraya tersenyum, gadis itu bersama Chika justru duduk di kursi tukang es, ”karya Rakai Pikatan,” ujar Mpu Prapanca menyentuh permukaan candi berbahan batu andesit itu. Sedah menoleh pada pria berkepala plontos itu.

Candi Plaosan yang terletak tak jauh dari Prambanan.

Mahapatih memutar tubuh, melihat sekitar. Sungguh tak ia sangka, peradaban manusia kini jauh berbeda dari Majapahit sekarang, ”kau pernah ke masa depan tapi terlihat bingung.”

Sedah menyentuh bahu Mahapatih Gajahmada di mana pria itu baru saja mendudukkan dirinya, lantas tersenyum dengan ucapan permaisuri yang tampak cantik dengan kaos hitam dan ikatan kain songket motif batik sebagai bawahannya.

Tampak cantik dan anggun.

”Kangmas belum menjawab pertanyaanku semalam.”

Mahapatih Gajahmada menyentuh permukaan rambut Sedah seraya tersenyum, ”apa Adinda ingin tetap disini?” Sedah menunduk, ia gusar dan jujur tidak ingin berpisah dengan Mahapatih apalagi untuk saat ini. Mengajak Mahapatih tinggal di Jogjakarta tidak mungkin sekali dan satu-satunya jalan adalah ia yang mengalah. Kembali ke Majapahit dan tinggal bersamanya, ”kemana pun, asal bersamamu, Kangmas.”

Mendengar itu, Mahapatih Gajahmada tersenyum manis.

Tatapan pria itu membuat pipi Sedah merona, apalagi mengingat hal semalam membuat wajahnya seketika panas dan berdiri mengulurkan tangan pada Gajahmada. Pria itu tampan sekali meski Sedah hanya memakaikan kaos hitam polos berkerah dengan jeans pensil warna biru langit.

”Ayu sekali kamu, Adinda.”

”Sekarang pinter gombal, ya?”

”Apa itu?” tanya Mahapatih yang dijawab Sedah dengan gelengan kepala. Melingkari lengan pria berkarisma ini, Sedah tersenyum padanya dan berjalan menjauhi candi ketika di rasa sudah cukup melihat sekitarnya dan tentu saja foto-foto.

”Ternyata aku lebih suka Trowulan, kangmas.”

”Karna ada Ayahmu?” tanya Mahapatih.

Sedah mengangguk, ”iya, salah satunya itu.”

”Sekarang kita kemana, Adinda?”

”Aku akan mengajakmu ke tempat aku kerja dahulu.”

”Itu saja?”

”Juga ke Bejijong.”

Sedah kembali menjadi sopir, Mahapatih duduk di sampingnya dan ketiga manusia di belakang asik sendiri terutama Dawuh dan Chika. Dua gadis itu sudah akrab sekali.

Hingga sampailah pada desa wisata, lagi-lagi, Dawuh dan Chika memisahkan diri bersama Mpu Prapanca, sepertinya ketiga manusia itu membiarkan ia dan Mahapatih hanya berdua saja, menikmati waktu tanpa terganggu.

”Dia siapa?”

Mahapatih Gajahmada melihat arsitektur desa yang Sedah sebut adalah kampung yang menggambarkan Majapahit. Ia melihat salah satu patung disana, menyentuh permukaan perutnya yang ke depan, Sedah terkekeh melihatnya.

”Itu dirimu,” ujar Sedah memberi informasi.

”Aku?”

Sedah menganggukkan kepala, ”Mahapatih Gajahmada.”

”Perutku tidak bulat seperti ini.”

Mendengarnya Sedah tertawa sampai menutup mulut, meredam suaranya. Ia tau Mahapatih sedang tidak mengatakan lelucon namun mendengar kalimat dari pria itu jelas membuat Sedah tidak bisa menahan gelak tawanya.

”Aku saja kaget ketika lihat kangmas untuk pertama kali.”

”Mengapa?” tanya Gajahmada.

”Kau sangat tampan.”

”Kau juga cantik, Adinda.”

Sedah memalingkan wajah, terlalu malu mengakuinya.

🌾

10/05/2024

LANGIT MAJAPAHITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang