•Pitulas

693 90 5
                                    

”Sepertinya yang Mulia Maharaja ada disini.”

Kalimat Mpu Prapanca berhasil membuat Sedah dan Mahapatih saling menatap. Dan tanpa bicara apapun lagi, ketiga orang itu keluar turun dari pendopo dan keluar dari gerbang kayu setinggi orang dewasa. Mpu Prapanca berjalan lebih dulu, ia memimpin perjalanan sampai pada titik kebakaran dan seseorang tengah di hakimi. Dengan mudah, seseorang yang memakai baju khas kerajaan itu menumpas mundur orang-orang yang tidak punya rasa sopan itu.

”Sudah ku bilang! Aku tak sengaja.”

Mahapatih menghampiri Hayam Wuruk, berjongkok sopan begitu pun dengan Mpu Prapanca dan Sedah. Membuat orang-orang disana terheran dengan perilaku aneh manusia tampan yang sayangnya sudah membakar toko. Katanya tak sengaja karena ia menarik dan memainkan stop kontak.

”Kami akan ganti kerugiannya, maaf yo mas, mbak.”

Sedah menjadi penengah dan bapak-bapak yang mempunyai toko itu akhirnya mengangguk dan menyebutkan kerugian yang harus mereka bayar. Sementara Hayam Wuruk berjalan mengikuti Mahapatih meski masih marah pada orang-orang yang hampir memukulnya. Mpu Prapanca berjalan di belakang dua orang besar itu seraya menunduk, sesekali melihat ke belakang, sedikit penasaran dengan apa yang Sedah lakukan pada warga yang emosi pada Maharaja.

Sungguh, mereka tidak tau kah jika Hayam Wuruk adalah manusia nomor satu di Majapahit, sungguh memalukan.

”Mohon ampun yang Mulia, bagaimana bisa kau ada disini?”

Hayam Wuruk menatap sekitar, suasana yang sungguh beda ketika ia tak sengaja melewati sebuah gerbang bercahaya di tengah hutan. Mahapatih sempat terdiam, menunduk menunggu Maharaja membalas pertanyaannya.

”Aku lapar, aku ingin makan, Patih.”

”Baik yang Mulia.”

Setelah mengatakan itu, Mahapatih mencabut salah satu berlian yang tertempel di ikat pinggang Maharaja membuat Hayam Wuruk melototkan mata. Sesegera mungkin, Mahapatih meminta maaf dan untuk membeli makan, mereka membutuhkan ini untuk menukarnya dengan uang.

”Kau membuat jelek ikat pinggangku.”

”Mohon ampun yang Mulia, untuk mendapatkan makanan kita harus membayar dengan uang di jaman ini.” ujarnya.

”Apakah disini tidak ada upeti untuk Raja sepertiku?”

”Mohon ampun sekali lagi yang Mulia, kau harus ingat jika kita disini bukan siapa-siapa. Ini bukan Majapahit, yang Mulia.”

”Lalu dimana kita?”

”Indonesia, selamat datang yang Mulia.”

Sedah muncul dari belakang pria itu, ia menunduk seraya tersenyum membuat Maharaja berdecak kecil mengingat betapa arogannya pemilik toko padahal ia tak sengaja membakarnya karena terlalu asik memainkan aliran listrik.

”Seharusnya orang-orang tadi sudah ku bunuh, sangat tidak sopan. Bajuku jadi kotor dan aku tidak membawa baju lain.”

”Maafkan hamba yang Mulia.”

”Yasudah, aku ingin makan.”

Sedah melirik Mahapatih dan pria dewasa itu memperlihatkan berlian di telapak tangannya, Sedah menganggukkan kepala mengerti dan mempersilahkan Maharaja untuk masuk dan duduk lebih dulu. Pria yang baru memimpin Majapahit tahun ke tujuh itu duduk di single sofa kayu dengan bantalan empuk disana, membiarkan Mpu Prapanca dan Mahapatih menemani sementara dirinya masuk ke dalam rumah. Dawuh melototkan mata ketika melihat siapa yang duduk disana dan melihat wajah Dawuh yang lucu, Sedah terkekeh, ”sepertinya Maharaja punya banyak pertanyaan. Tak perlu kau temani aku, Dawuh. Aku akan pergi sebentar untuk membeli makan dan pakaian ganti Maharaja.”

LANGIT MAJAPAHITМесто, где живут истории. Откройте их для себя