•Sekawan

1K 142 11
                                    

Menatap tiga koin dengan bolongan kecil ditengahnya, Sedah meneliti rupa alat tukar yang ia ketahui namanya Gobog. Di masa depan uang ini kerap kali di jadikan jimat, memiliki harga yang tinggi dan menjadi incaran para kolektor uang kuno. Sedah masih tidak menyangka jika dirinya benar-benar ada pada masa dimana uang ini menjadi alat tukar yang sah.

Mengeluarkan ponsel, Sedah memotret uang koin itu.

Sedah tengah menunggu Dawuh untuk pulang bersama.

"Hei, apa itu?"

Terlampau kaget, Sedah menjatuhkan ponsel produksi Korea Selatan ke tanah. Segera mengambilnya, Sedah menyembunyikannya di antara lilitan pinggang kain jarik yang ia pakai. Dawuh menutup mulut sembari menatap Sedah dengan mata melotot membuat Sedah bingung sendiri.

"Kau sebenarnya siapa, Sedah?"

"Dawuh! Sutttt ... "

Karena suara Dawuh yang amat besar, Sedah menempatkan telunjuk di depan bibir agar temannya itu tidak berbicara lagi.

"Boleh aku lihat?"

Sedah melirik sekitar kemudian menggelengkan kepala. Ia tidak mungkin membiarkan Dawuh melihat barang dari masa depan di saat keduanya masih berada di sekitar istana.

"Boleh, tapi jangan disini."

"Bagaimana kalau di tanah lapang tengah hutan?"

Sedah melirik Dawuh, hari sudah menjelang malam. Keduanya hendak pergi setelah Nyi Darma memperbolehkan.

"Memangnya ada apa disana?"

"Ada jangkrik, kunang-kunang, hewan buas juga ada."

Sedah meringis mendengarnya dan Dawuh tampak santai. Dari kejauhan Sedah bisa melihat seseorang duduk di pendopo, sebilah keris senantiasa berada terselip di pinggangnya, Mahapatih terlihat menutup mata, kepalanya bersandar di tiang kayu, tampak tak nyaman.

"Aku pernah bermimpi jika bukan saja terlahir sebagai kaum Sudra, aku ingin menjadi permaisuri dari seorang raja."

Dawuh tertawa, kepalanya menunduk bersikap anggun.

"Tapi Mahapatih Gajahmada bukan raja."

"Aku tau, memangnya siapa yang ingin menjadi permaisuri dari Mahapatih. Dia sepertinya menyukaimu, Sedah."

"Halah, gabut doang dia! Playboy ulung."

Sedah bisa melihat sekarang Dawuh tampak mengerutkan kening, tak paham dengan kosakata yang Sedah gunakan.

"Apa itu palayboy?"

"Playboy, Dawuh. Artinya dia banyak perempuannya."

Dawuh menggelengkan kepala, "sepertinya kau salah."

"Apa yang salah?"

"Setahuku, Mahapatih tidak pernah dekat dengan siapapun. Kabar yang ku dengar dia selalu menanti kekasihnya."

"Nah itu dia! Mahapatih mempunyai kekasih tapi untuk apa dia mengangguku sampai mengikuti kita ke sungai?"

"Mungkin saja kau yang dimaksud."

"Halah, mana ada! Aku tidak percaya."

"Padahal tidak jadi masalah, Sedah. Derajatmu terangkat jika menikah dengan Mahapatih Gajahmada, aku yakin hal itu."

Sedah bergestur muntah, sungguh geli mendengarnya.

"Kau sangat cantik, Sedah. Mendapatkan Mahapatih bisa saja. Jika aku jadi kau, sudah ku dekati lebih dulu pria itu."

Berjalan bersisian dan asik membicarakan seseorang membuat keduanya tak sadar jika pria yang menjadi topik pembicaraan berjalan di belakang, berdeham singkat membuat Sedah maupun Dawuh segera berbalik, kemudian berlutut meminta pengampunan pada Mahapatih yang tengah menahan senyum. Alih-alih menegur, pria itu justru ikut berjongkok, menopang tubuhnya dengan sebelah lutut.

LANGIT MAJAPAHITDonde viven las historias. Descúbrelo ahora