•Kalih Welas

665 94 13
                                    

Pertumpahan darah antara Sunda Galuh dan Majapahit tidak bisa terhindar. Di lapangan Bubat, tempat dimana Raja Linggabuana dan putrinya Dyah Pitaloka mendirikan pesanggrahan semula saat kedatangan mereka di Trowulan.

Prajurit Sunda Galuh tentu tidak sebanyak Majapahit dan tumbangnya Raja Linggabuana ke tanah memberi tanda jika Sunda Galuh di nyatakan kalah dalam peperangan. Dyah Pitaloka yang melihat Ayahanda mati terbunuh oleh Mahapatih Gajahmada giginya bergemelutuk, mengacungkan belati ke hadapan Gajahmada dan melukai bagian sisi perutnya.

”KAU!”

”Perang ini tak akan terjadi jika bukan karena kau.”

Air mata Dyah Pitaloka mengalir membasahi kedua pipi, sama sekali tak iba, Mahapatih Gajahmada justru berbalik, menyuruh pasukan yang ia bawa untuk kembali ke kerajaan di saat Putri dari Raja Linggabuana terus merintih menangis karena sang Ayah telah wafat.

Dyah Pitaloka menangis di hadapan mayat sang ayah dengan darah yang membasahi kain putih yang tengah ia pakai. Di tengah tangisnya, Dyah Pitaloka mampu mendengar suara langkah terdengar mendekat. Maharaja Hayam Wuruk berjongkok tepat di samping gadis itu.

”Aku memaafkan segala kesalahanmu, Dyah.”

Merasa sebuah tangan menyentuh sebelah pundaknya, Dyah menjauhkan tubuhnya, menolak sikap Hayam Wuruk yang masih saja baik ketika dirinya mengakui jika pria yang ia cintai justru sang Patih dan bukanlah Maharaja.

”Aku akan tetap menerimamu sebagai kekasihku.”

”Tidak.”

Dyah Pitaloka menatap wajah Hayam Wuruk dengan sisa-sisa basah di wajahnya, ia tidak sudi jika harus tetap menikah dengan segala kekacauan yang telah terjadi hari ini.

”Apa yang akan aku dapat jika tetap menikah denganmu yang Mulia? Ayahandaku mati oleh Mahapatih kerajaanmu.”

”Gelar ratu Majapahit,” jawab Hayam Wuruk.

”Lebih baik aku mati.”

Dan detik itu pula, belati yang sempat tertancap di perut Mahapatih Gajahmada sekarang bersarang di dada Dyah Pitaloka, berhasil menembus jantung kemudian membuat putri dari kerajaan Sunda Galuh itu muntah darah dan tumbang ke tanah apabila Hayam Wuruk tidak menariknya ke dalam pelukan.

”Dyah?”

”Aku tarik ... semua sumpahku ... maaf. Aku memang tak pernah ... mencintai ... mu yang Mulia.” setelah berhasil mengatakan satu kalimat maaf, Dyah Pitaloka menutup matanya, sebelah tangannya yang semula berada di pipi Hayam Wuruk lemas tak berdaya.

Tanpa tau jika Maharaja meneteskan air matanya.

******



Di ruangan dengan cat putih dan bau asing yang tak pernah Dawuh maupun Mpu Prapanca hirup, perasaan senang tercipta di wajah Dawuh ketika ia tak sengaja melihat kelopak mata Sedah bergerak di iringi batuk dari gadis itu.

”Sedah.”

Dawuh mendekat kala mata Sedah perlahan terbuka.

”Dawuh?”

”Iya, ini aku. Kau sudah tak apa?”

Sedah menggelengkan kepala pelan lantas matanya tertuju pada pria berkepala plontos dengan baju Kasaya yang tengah ia pakai.

”Patih?”

”Dia kembali ke Trowulan, jangan khawatir, yang Mulia pasti akan kembali kesini, Sedah.”

Mengingat dengan apa yang sudah terjadi, Sedah memutar pandangan dan melihat ruangan rumah sakit membuatnya tersadar jika dirinya kini bukanlah di Majapahit.

LANGIT MAJAPAHITDove le storie prendono vita. Scoprilo ora