8. Rencana

6 2 0
                                    

Hana mulai terbiasa dengan kehadiran ibu tirinya, itu tidak seburuk yang dia bayangkan beberapa jam sebelum kepergian kakaknya ke bandara.

Tetapi, kurang dari dua minggu mereka berada di tempat yang sama. Bagaikan tempat penyiksaan baginya, ia tidak tahu jika kebaikan yang ditunjukkan padanya di hadapan sang kakak adalah cara untuk menghilangkan keraguan.

Setiap kali Hana pulang sekolah, ia akan langsung berdiam diri di kamarnya. Menunggu sesuatu dengan harapan, agar dirinya bisa keluar dari belenggu.

Hal-hal yang seharusnya tidak terjadi, terus-menerus menghunjam dirinya.

🥀🥀

Sudah seperti kewajiban berada di rumah ini, Hana selalu meluangkan waktunya untuk mengambil alih pekerjaan rumah yang harus diurusi.

Ia memang terbiasa dengan hal tersebut, jauh sebelum dirinya tinggal di rumah yang ditempatinya sekarang. Namun, sebiasa apa pun dirinya, jika ada hal lain yang menganggu. Ia semakin merasa tidak pantas, berada di sana.

Terbiasa dalam keheningan memberinya poin tambah pada indera pendengar yang ia miliki. Meski kali ini suara yang timbul berbeda dari biasanya.

Dirinya tidak siap pada sentuhan di bahunya, tubuhnya memberi reaksi getaran, tangannya mengepal sekuat yang ia bisa dan matanya memejam. Bersiap untuk menghadapi apapun akan terjadi.

"Hana, ada apa?"

Dirinya terperanjat mendengar suara yang sudah lama tidak di dengarnya, ia perlahan membuka matanya dengan tubuh yang diambil alih, hingga tidak membelakangi.

"Kakak! Ini ... nyata, aku tidak berhalusinasi, kan?"

Mendapati gelengan dengan senyum dari kakaknya, Hana membawa kedua tangannya mengelus pipi Han Soo sekilas dan membenamkan wajahnya, di antara dada bidang milik kakaknya.

Han Soo memberinya pelukan untuk memenangkan, meski dirinya bingung dan bertanya pada dirinya sendiri, apa yang sebenarnya terjadi. Hingga adiknya berpikir, bahwa itu hanya halusinasi.

Ia perlahan melepaskan diri, dari pelukan sang kakak dan mundur beberapa langkah.

"Apa terjadi sesuatu?" Melihat sorot mata yang tidak biasa ia lihat, Han Soo menepuk pelan bahu adiknya.

"O-oh, tidak ada Kak. Maaf, aku hanya terkejut. Bukankah, Kakak seharusnya pulang besok ya?"

"Sepertinya ada yang tidak senang, jika Kakak pulang lebih awal," ucapnya terkekeh. "Kakak hanya bercanda, maaf membuatmu terkejut dengan kepulangan Kakak." Han Soo melihat sorot mata yang berbeda lagi dari Hana.

"Aku mengerti, sebaiknya Kak Han Soo istirahat sekarang. Aku akan buatkan teh hijau dan meletakkannya di kamar Kakak."

"Terima kasih. Tapi sebelum itu, Ibu di mana?"

"Ibu bilang dia akan bertemu dengan teman-temannya."

"Apa Ibu sering pergi, saat Kakak tidak ada?"

"Hanya sesekali, Kak."

"Kamu yakin? Tidak berbohong?"

Rasanya aneh bagi Han Soo ketika Hana mengangguk dengan cepat dan berlari darinya ke arah dapur, hanya untuk mengakhiri pembicaraan.

Atas izin yang diberikan kakaknya, Hana mudah untuk masuk ke dalam kamar milik Han Soo. Ia meletakkan cangkir berisi teh secara hati-hati di atas laci dan segera meninggalkan kamar tersebut.

Ketika hari mulai larut, suara ketukan semakin nyaring dari arah luar serta kegaduhan samar-samar.

Han Soo berjalan keluar dari kamar kamarnya, melihat apa yang sedang terjadi di luar sana. Matanya menangkap, sosok kecil yang sedang memapah seseorang.

"Kenapa Ibu pulang dengan keadaan seperti ini, bukankah sudah ku katakan untuk menghilangkan kebiasaan buruk ini, Bu?" Meski kalimat itu tidak berarti di kondisi saat ini, Han Soo terus mengatakannya dan membantu di sisi kiri untuk memapah ibunya.

"Hentikan omong kosongmu, Han Soo. Bawakan aku air."

"Aku saja, Kak." Hana berjalan cepat, mengambil air, sebelum Han Soo berdiri.

"Berhentilah minum-minuman beralkohol, Bu! Itu tidak baik dan katakan padaku, apakah Ibu benar-benar mengurus Hana selama aku pergi?"

"Hei! Aku mengurusnya dan juga, aku berencana akan mengajaknya pergi berlibur ke kampung halamanku, tanpamu. Aku pastikan, dia akan bersenang-senang," jawabnya, sedikit meracau di ujung kalimat.

Hana hampir menjatuhkan gelas yang akan ia berikan, ketika mendekat. Han Soo semakin melihat ketidakjelasan dari kalimat dan tindakan dari respon dua orang di hadapannya.

"Tanpa ku? Kenapa? Aku tidak akan membiarkan Ibu membawanya, jika aku tidak bersamanya."

"Aku ingin bersenang-senang dengannya, bukankah kamu sendiri yang menyuruhku untuk menerima dia dan menganggapnya sebagai keluarga?"

"Itu memang benar, tapi aku belum sepenuhnya ...."

"Ya, ya, ya." Seung Hee merotasi bola matanya ke arah Hana. "Sampai kapan kamu akan memegangi gelas itu? Berikan padaku." Hana terlihat gugup, ketika menyerahkan gelas tersebut.

Seung Hee menghabiskan minumnya dalam satu teguk dan menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa.

"Ya baiklah. Jika kamu memang benar-benar tidak percaya pada Ibumu sendiri, ikuti kami ke manapun aku mengajaknya."

"Bagaimana denganmu? Kamu baik-baik saja dengan itu?" tanya Han Soo.

"Aku ... a-aku, ya." Ia menyetujui begitu saja, saat pandangannya bertemu dengan mata ibu tirinya.







🌹
☆Jangan jadi silent reader's, tinggalkan jejak dengan vote ★

REMEMBER AND CHANGEWhere stories live. Discover now