11. Bunga

7 2 0
                                    

Tangan itu terus bergetar, ketika pelatuk ditarik dan peluru menembus atap bangunan.

Entah keberuntungan sedang berpihak pada Hana atau hanya sebagai pijakan untuk menunda ketidakberuntungan.

Bagaimanapun, kehidupan seseorang tidak ada yang bertahan lama, apalagi abadi, itu sangat mustahil.

"Rupanya, kamu suka benda itu. Kemari, aku akan mengajari mu cara yang benar."

"Ja-jangan, tetap di sana atau aku ...."

"Percuma saja, kamu tidak akan bisa lari dengan luka itu, kamu pikir belati tadi biasa, bohong jika kamu tidak merasa mual, benar?" tanya Seung Hee, menaikkan alis kirinya dan bangun dari jatuhnya.

"Itu tidak ada urusannya, aku pasti bisa keluar dari sini," bantah Hana.

"Coba saja." Seung Hee bergerak pelan, berjalan berlawanan arah dari pergerakan Hana.

Tubuh anak itu menegang, karena terkunci oleh belati di lehernya.

"Aku akan membiarkanmu pergi, jika senjata itu kamu kembalikan. Pikirkan keselamatanmu, racun itu hanya bertahan satu jam dan sekarang waktumu kurang dari tiga puluh menit untuk menyelamatkan nyawamu."

Puluhan detik sudah terlewati, waktu singkat memberinya pilihan untuk bertahan hidup atau menyerahkan hidup, nampaknya dua hal tersebut tidak ada bedanya.

Belati itu semakin dekat pada nadi dan napasnya mulai tidak beraturan. Dengan pelan, Hana mengulurkan kedua tangannya.

Jeritan terdengar dari dua orang beda generasi.

"Sial, Hana!"

Senjata api melesat di bagian dada kiri Seung Hee dan sayatan di leher kanan Hana, bersamaan.

Melihat ibu tirinya terjatuh, Hana menjatuhkan senjata api tersebut berusaha melarikan diri meski gejala racun semakin kuat. Darah segar mengalir dari leher jenjang, menodai dress putih miliknya, bercampur darah dari ibu tirinya.

Hana kembali merasakan suatu reaksi di dalam tubuhnya, setelah ia berhasil dari dalam ruangan yang ia yakini adalah gudang dari rumah yang dia tempati berjam-jam lalu. Karena, tempatnya berdiri saat ini, hanya berjarak sepuluh langkah pada bagian belakang rumah.

Dengan sisa-sisa tenaga yang di miliki Hana, ia merobek dress pemberian ibunya dan membalut luka pada leher serta paha. Meskipun enggan, hal tersebut tetap dilakukan.

Dirinya terus berlari, menjauh dari rumah yang menjadi malapetaka baginya.

Awan gelap menyelimuti langit malam, angin berubah menjadi kencang dimana semuanya sangat dingin, petir dengan tiba-tiba terdengar sangat kuat, di susul derasnya hujan.

Bau anyir memenuhi indera penciuman dan kaki tanpa alas menambah rasa sakit, saat berlari.

Hujan seakan-akan tahu apa yang dirasakan Hana, menutupi air mata dan kesedihannya.

Tidak banyak sisa waktu miliknya, saat ia mencapai jalan raya, penghubung antara desa dan kota, cahaya lampu dari kendaraan besar menyorotnya.

Kendaraan itu semakin dekat, hingga memberinya satu harapan baru untuk bertahan hidup. Fokus matanya berkurang dan rasa sakitnya semakin dalam.

Kesadarannya makin melemah, sampai ia tak sadar, jika dirinya berjalan keluar dari jalur sambil melambai meminta bantuan.

"T-tolong, to ... tolong a-aku," rintihnya, berusaha mengangkat tangannya, pada seseorang yang mendekat.

Sang sopir keluar dengan berhati-hati, memastikan apa yang baru saja tertabrak, karena penglihatannya terhalang hujan, serta kabur saat mengemudi.

Dirinya benar-benar panik, mendapati sosok tersebut sudah berlumuran darah.

REMEMBER AND CHANGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang