13. Rumah

6 2 0
                                    

"Mirae, kamu terlambat!"

"Aku sudah mengatakannya padamu."

"Ya, ya, aku mengingatnya, but it's too late. Aku jadi tidak bisa menunjukkan matahari terbenam secara langsung dan mengajakmu berkeliling sebelum acara."

"Aku akan di sini sampai besok. Sebagai gantinya, kita bisa melihat matahari terbit."

"Benarkah? Kamu serius tetap tinggal?"

Dengan antusias, dia memelukku dan membawaku, bertemu orang tua, teman dan kekasihnya. Terlepas dari situasi keterlambatan, mereka menyambutku sehangat mungkin.

Aku tahu mereka tidak akan mempermasalahkannya, tetapi rasanya agak canggung karena tidak bisa datang lebih awal.

Secara sadar, aku meninggalkan acara yang akan berakhir beberapa menit lagi, melangkahkan kaki yang sudah tidak menggunakan alas, merasakan bagaimana pasir-pasir bergesekan pada telapak kaki.

Deburan ombak, terdengar saling menyahut. Begitu tenang.

Semilir angin membelai rambut, langit malam bersanding dengan bulan yang memancarkan sinarnya, menemaniku di bibir pantai.

Apakah hal setenang ini, nyata?

Langkahku terhenti, membalikkan badan, melihat mereka satu-persatu, mulai meninggalkan tempat acara.

Mata ini memperhatikan sekitar dan penglihatanku, terpaku pada sebuah rumah tanpa cahaya, berada di antara dua rumah lainnya.

Rasa penasaran menyelimuti dan perhatianku saat ini, hanya tertuju pada rumah tersebut.

Terpaan air dan angin secara bersamaan, menggelitik kulitku.

Melihat bangunan cukup lama, membuat diriku seperti mendengar bisikan untuk melangkah ke sana.

Dan, aku di sini. Menatap lekat sebuah bangunan yang tampak tua, benar-benar tidak ada kehidupan. Hanya ada rasa dingin.

Dengan penerangan seadanya dari senter ponsel dan kaki tanpa alas, membawa setiap langkah lebih jauh dalam menelusuri.

Aku berhenti, menghadap pintu dari bangunan yang lebih kecil, tidak jauh dari rumah sebelumnya.

Entah kenapa, aku merasakan sesuatu.

Ada sesuatu, tapi apa? Perasaan macam apa ini? Sulit untukku pahami.

Saat bisikan-bisikan yang tidak dapat dipahami terdengar, tangan kananku sudah menyentuh pintu tersebut. Keberanian macam apa, yang ada pada diriku?

Sekarang tidak hanya menyentuh, tetapi mendorong pintu. Gelap dan dingin.

Pandanganku berubah kabur dan hal-hal tidak masuk akal memenuhi pikiran, aneh. Bahkan, dalam kegelapan aku bisa melihat sebuah bayangan.

Imajinasi? Bukan, ini lebih dari sebuah imajinasi belaka.

Kedua mataku terpejam sempurna, tubuh yang berdiri kokoh kini menurun secara perlahan, menempatkanku pada posisi jongkok.

Sakit.

Pertahanan posisiku terjatuh, aku menduduki tanah dengan kedua tangan yang memegang kepala.

Bayang-bayang dalam pikiranku, semakin jelas. Menyedihkan. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa mereka menyakitinya?

Hentikan.

Perlahan, mataku terbuka, air mata membasahi pipi.

Kenapa aku merasakan apa yang dia rasa? Sedih dan takut. Siapa dia?

REMEMBER AND CHANGEWhere stories live. Discover now