10. Cermin

5 2 0
                                    

Sesuatu yang tidak bisa ditempatkan sembarangan adalah kepercayaan. Bahkan, senyuman bisa digunakan untuk menutupi sebuah kebencian.

Dalam hidup, ada rasa yang tidak bisa diungkapkan begitu saja, meski mulut sudah siap menyerukan kata-katanya.

Ada sebagian rasa yang harus tetap dipendam. Misalnya, seperti takut.

Menyuarakan rasa takut, bukan karena kesalahan atau lambang lemah. Tetapi, lebih pada apa yang akan kita dapat setelah mengatakannya.

Akankah kabar baik atau buruk yang diterima, atau mungkin bukan keduanya. Jika bukan keduanya, lalu apa?

Acuh, tak acuh.

Ketika kesadaran mulai mengambil alih, perlahan sepasang mata membuka diri, memperlihatkan ruangan lembam dan pencahayaan yang hanya mengandalkan sinar rembulan dari beberapa celah kayu.

Dingin dan tak nyaman.

"Tidurmu nyenyak Tuan Putri?"

"K-ka ...."

"Sst, bagaimana rasanya?"

"Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Kenapa tangan dan kakiku terikat? Lepaskan aku, ku mohon."

"Kamu lupa? Kita sedang bersenang-senang sekarang, ingat? Aku hanya memberimu obat tidur, apakah itu membuatmu hilang ingatan, Hana?"

"Tidak, ini tidak benar! Aku paham jika Ibu membenci ku, tapi ... Kakak? Apa maksud dari semua ini?"

"Naif sekali, pantas saja kamu bisa tertipu olehnya," cemooh Seung Hee.

"Kamu percaya begitu saja padanya? Kamu tetaplah orang asing baginya Hana, tidak lebih dari itu. Apa yang kamu harapkan?" Seung Hee kembali berbicara di saat Han Soo akan menjawab pertanyaan Hana.

"Seharusnya kamu tidak percaya padaku semudah itu, Hana. Maaf, aku hanya bermain-main denganmu dan membantu Ibu dalam menyadarkanmu, agar ingat di mana tempatmu berada, itu saja."

"Apa Kakak juga membenci ku?"

"Sejujurnya aku tidak membencimu, aku sayang padamu, tetapi." Tangan kiri nya mencengkram dagu sang remaja dan mendongakkannya dengan kuat. "mata ini, mengingatkan ku pada lelaki tua yang menikahi Ibumu dan memberi marganya padamu."

"Ah, bukan itu jawabannya. Mari kita bicara secara realistis pada inti topik, aku bersusah payah membantu perusahaan di saat krisis karena rumor pernikahannya kembali terungkit setelah 15 tahun terkubur, lalu setelah masalah teratasi, Ayah membicarakanmu dan akan memberimu sebagian sahamnya."

"Jadi, ini semua karena harta dan apakah kematian Ayah, ada hubungannya denganmu, Kak?"

"Pintar, pintar sekali. Seharusnya kamu menggunakan otakmu untuk memperhatikan sekitar, bukan terlena. Menyedihkan," jawab Han Soo.

Dalam sekejap, Hana menyadari bahwa ketakutannya semakin nyata.

"Cukup sampai sini, aku tidak ingin terlibat apa pun lagi, Bu dan ingat jangan menyakitinya secara berlebihan ataupun meninggalkan jejak di tempat yang terlihat," ucap Han Soo mengingatkan ibunya. Ia berjalan keluar, tanpa melihat sosok yang dianggap sebagai adiknya beberapa bulan lalu.

"Kak!" Hana terus meneriaki kakaknya, memintanya untuk menyelamatkan dirinya, hingga suaranya serak.

Orang yang ia percaya setelah orang tuanya, juga meninggalkan dirinya dan rasa sakitnya, melebihi rasa sebelumnya.

Lantas untuk apa dirinya tetap bertahan hidup? Bukankah mati di hadapan orang yang membencinya, lebih baik?

"Ini dia, air mata. Aku selalu ingin melihatnya, bagaimana jika seseorang yang selalu tersenyum, kemudian menangis. Ternyata seperti ini."

Tangan dengan belati terulur, tepat di depan mata Hana.

"Jangan takut, aku tidak akan menyakitimu, kecuali ... arghh, beraninya anak jalang sepertimu mendorong ku!" geramnya.

"Baiklah, jika ini yang kamu mau."

Sayatan-sayatan ringan kembali terukir, kini bukan hanya pada punggung, tetapi leher, lengan dan kakinya juga dipenuhi. Luka yang semula tertutup pun kembali menjadi luka baru.

"Senangnya rasanya, bisa bermain denganmu lagi. Jika di rumah, aku tidak bisa bebas karena diawasi oleh anakku."

"Ma-maksud Ibu? Kakak tidak ada hubungannya dengan keadaan ku," tanya Hana tak percaya.

"Tentu saja tidak, bodoh. Dia hanya berencana menyingkirkan mu dari hak waris dan aku memanfaatkannya."

Di sadari atau tidak, semua orang memiliki tombak yang tajam, di dalam jiwa mereka. Entah itu sebagai pertahanan diri atau sebagai alat untuk menusuk orang lain dari belakang.

Tidak peduli seberapa baik orang tersebut.

"Kumohon ... Kumohon lepaskan aku, a-aku tidak akan pernah menampakkan diriku lagi, aku akan pergi sejauh mungkin, hingga kalian tidak mendengar apapun tentangku."

"Menarik. Tentu saja seperti itu, setelah aku bermain denganmu."

"Tidak! Akhh ...."

"Manis sekali, aku suka suara ini."

Hana menyaksikan aliran darah mengalir dari paha bagian dalam, kini bukan hanya sayatan yang terpampang jelas di kaki kiri Hana, tetapi luka tusuk.

Meski Seung Hee tidak menusuknya sedalam keinginannya untuk menghabisi Hana, ia melakukan tusukan dua kali di tempat yang hanya berjarak dua sentimeter dari tempat sebelumnya.

"Aku melupakan sesuatu, tunggu sebentar."

Dengan menggoreskan belati di dagu Hana, Seung Hee pergi begitu saja, meninggalkan sang remaja beserta tangisnya.

Tangisannya bagaikan alunan nada di telinga Seung Hee dan mohonnya bagaikan mantra untuk menghilangkan diri, tetapi mantra tersebut hanya membawanya lebih dekat pada kematian.

Ruangan tampak menjadi lebih gelap dan aroma darah semakin menyeruak.

Meski ikatan pada tangan dan kaki, serta luka yang ada pada tubuhnya, tidak membuat sang remaja hanya berdiam diri, membiarkan rasa takut dan tak berdaya menguasai dirinya.

Keputusan di saat yang tidak tepat, dapat membuatnya berkahir dengan keputusan mudah. Menerima akhir hidup di tangan orang lain, itu adalah jalan satu-satunya dan terburuk. Namun, bukan itu yang dia inginkan.

"Aku kembali, jangan berpikir untuk berlari dari ku, karena kamu tidak akan bisa melakukan itu. Aku bersusah payah mendapatkan ini."

Seung Hee kembali dengan senjata baru, ia berjalan mendekati Hana, memperlihatkan dua jenis senjata di masing-masing tangannya.

Senyum puas semakin menghiasi wajahnya.

"Ingin merasakannya? Pilih yang kamu suka, kanan atau kiri?"

Kengerian terlihat jelas di wajah Hana, senjata api dan belati baru menyambut dirinya, bersiap untuk mengenal saat itu juga, jika pelatuk ditarik dan belati ditancapkan.

Ketika Seung Hee berada di dunianya saat ia menodongkan senjata, Hana mendorong ibu tirinya untuk kedua kalinya sekuat tenaga, serta menggoreskan pecahan cermin di lengan kanan pada saat mendorong.

Ia tidak yakin apa itu akan berhasil, untuk menahan beberapa menit saat dirinya melepaskan ikatan di kaki, menggunakan belati yang terjatuh tak jauh dari dirinya.

Suara kesakitan terdengar samar, bersamaan dengan suara dari senjata api.







🌹
☆Jangan jadi silent reader's, tinggalkan jejak dengan vote ★

REMEMBER AND CHANGEWhere stories live. Discover now