Jangan di tinggal

1.5K 154 13
                                    

Suasana sepi dan sunyi dirasakan Mada beberapa hari ini, rasanya ada yang hilang. Tapi ntah apa itu, sore itu Mada ingin mengambil tangga di gudang untuk membenarkan gentengnya yang sedikit merosot, sesampainya di depan pintu gudang, Mada melihat genangan merah keruh, berbau tak sedap, Mada menggosok hidungnya karena bau yang cukup menusuk pernapasannya itu. Tak lama kemudian Mada menyentuh genangan yang keluar hingga luar gudang tersebut, yang benar benar amis, Mada membelalakkan matanya mengingat Harvi yang sudah ia kurung 4 hari di dalam gudang yang dingin dan gelap itu.

"Harvi!" Sentak Mada yang merasa cemas, ia pun membuka pintu gudang tersebut secara terburu-buru, mendapati Harvi yang terbujur lemas, dengan luka lebam, badanya tampak memutih dengan darah yang bercucuran dan membasahi ubin gudang hingga keluar, Harvi tersenyum kecil mendapati Mada yang membuka pintu gudang tersebut.

"Kaka.... Kaka sudah tidak marah? Kenapa lama sekali bukanya?... " Tanya Harvi menatap wajah Mada layu, Harvi benar benar tak menutup matanya sejak ia dikurung hingga hari ini, karena menunggu Mada untuk membukanya. Mada pun segera mengangkat tubuh sang adik, lalu segera membawanya ke rumah sakit karena keadaan Harvi yang tampak parah, darah menetes sepanjang Harvi melewatinya karena mungkin ada luka yang cukup serius di badannya, Harvi menangis perih karena merasa punggungnya benar benar sakit.

"Sakit kaka... Punggung Harvi sakit sekali..." Ujar Harvi.

***

"Kaka Harvi di bawa kemana lagi.... Kaka mau kemana ka... Temani Harvi ya?... Harvi takut kalau sendiri..." Ujar Harvi yang meraung-raung di atas ranjang dorong rumah sakit dan menarik tangan Mada di depan UGD.

"Lo masuk vi, masuk. Ga lama... Gua tunggu disini" jawab Mada berusaha melepaskan cengkraman tangan sang adik. Harvi menggeleng sembari menangis, nafasnya tersengal-sengal karena isak tangisnya sendiri.

"Adek... Tidak papa ya? Di dalam ada saya, ada suster juga, tidak lama... Biar kaka tunggu di luar ya?..." Bujuk seorang dokter yang sedari tadi mencoba membuat Harvi melepaskan genggaman nya itu.

"Bohong... Lama kan? Dokter bohong! Kaka... Harvi pulang saja.... Harvi takut. Harvi hanya lapar dan haus, tidak usah di bawa kesini...." Jawab Harvi. Badan Harvi kini mulai melemas, mungkin karena ia terlalu lelah, membuat Mada cukup lebih mudah untuk melepaskan genggaman tangan Harvi. Harvi pun segera di bawa kedalam dan di beri penanganan.

'kring-kring' dering suara ponsel yang berasal dari saku Mada, menampakkan panggilan dari kekasihnya

Sayang.

Nama yang tertera pada penelpon tersebut.

"Halo sayang? Kenapa?"

"Lah? Katanya jalan jalan! Aku nunggu di teras ini."

"Ya ampun.... Sayang, aku lagi nemenin Harvi di rumah sakit... Dia masuk UGD ini..."

"Terus kita ga jadi? Perkara anak cacat ga normal kaya gitu kita ga jadi jalan?! Serius?! Bangsat lah."

"Iya... Iya, aku kesana. Sebentar ya? Gausah marah sayang.. iya iya, sebentar"

'tut... Tut....' telepon pun dimatikan lebih dahulu oleh Zora. Mada pun bergegas pergi menemui kekasih tersayangnya itu, meninggalkan sang adik yang kesakitan di dalam ruangan karena perbuatan bodohnya itu.

***

Hari sudah berganti gelap, jam sudah menunjukan pukul 20.33. Harvi yang sudah berada di ruang perawatan terbangun dari pingsannya karena obat bius yang ia terima tadi, Harvi membuka matanya perlahan lahan mengamati sekeliling ruangan, lalu menggosok matanya berharap pandangan menjadi jernih kembali.

Harvi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang