Jojo.

1.3K 139 31
                                    

Tiga hari berlalu, Mada masih larut dalam kesedihannya karena pengkhianatan yang ia rasakan, rasanya masih tak percaya dengan apa yang terjadi. Ia merasa tak bisa melihat wajah Zora lagi, karena akan mengingat kenangan masa lalu bersama gadis itu, bagaimana ia bisa hidup tanpa seorang pun yang ia cintai? Suasana hatinya makin tak karuan, membuat tubuh Mada menjadi tak terurus, kebiasaan yang jarang ia lakukan sekarang menjadi hal rutin di lakukan setiap malam, ketika ia mengingat betapa bahagianya ia dulu, keadaan berbanding terbalik dengan sekarang. Mada meminum segelas alkohol di meja itu sembari memijit pelipisnya, air matanya tak henti henti membasahi pipinya. Ia menjambak rambutnya kuat, karena frustasi dengan keadaannya saat ini.
Hidupnya terasa hampa. Seperti ingin mati, tetapi takut untuk menenui kematian, bak bunga layu yang berharap di guyur hujan, namun. Saat hujan datang, sang bunga ketakutan untuk berdiam diri terlalu lama dibawah guyuran hujan. Rasa cemas turut hadir mengusik ketenangannya. Hidupnya menjadi tak seindah hari lalu, setelah patah itu datang dan merusak rencana yang telah ia kemas sebelumnya.

"Ra... Aku ga bisa gini, Ra." Ujar Mada sembari meraup wajahnya kasar. Ia ingin sekali berhenti bekerja di tempat yang sama dengan Zora, tapi ia juga membutuhkan pekerjaan untuk melanjutkan hidupnya.

"Kamu ko tega sih, Ra..." Mada kembali meneguk minuman perusak tubuh itu. Meskipun untuk alasan ketenangan hati dan pikiran, tetap saja. Minuman itu merusak akal dan tubuhnya jika terus menerus ia konsumsi. Mada menutup telinganya lalu memejamkan matanya, merasakan rasa pusing yang mulai datang di kepalanya.

"Hahahaha. Kocak banget hidup gua? Di tinggal ayah, terus bunda nyusul. Disuruh rawat anak cacat yang bukan saudara kandung gua. Di selingkuhin pula. Gilaaaaa!" Ujar Mada sembari tertawa, efek dari minuman itu mulai bekerja sekarang.

"Harvi brengsek! Zora brengsek!"

".... Eh, enggak enggak! Zora ga brengsek. Dia kan cewe gua. Cewe paling cantik setelah bunda... Gua yang brengsek! Lo brengsek Mada." Terusnya sembari memukul kepalanya, meluapkan emosinya pada dirinya sendiri.

***

" Rotinya buk?" Tawar Harvi sembari tersenyum ramah.

"Engga, Mas. Makasih!" Jawab wanita tersebut

"Baik... Kembali kasih buk..." Saut Harvi sembari menganggukkan kepalanya, wanita itu berhenti. Lalu kembali menghampiri Harvi

"Berapa rotinya?" Tanya wanita itu, melihat keramahan yang terpancar dari wajah pemuda itu, membuat perasaan wanita tersebut menjadi tergugah untuk membelinya. Harvi tersenyum lebar mendapati wanita itu kembali ke hadapannya.

"Enam ribu buk. Ibuk mau mau beli berapa?" Tanya Harvi

"Lima ya." Jawabnya, Harvi mengangguk lalu mulai membungkus roti roti tersebut.

"Masih banyak ya dek?" Tanya nya lagi. "Iya buk.. hari ini sepi, jadi sampai malem sedikit yang laku. Ini buk, Terima kasih ya.... Semoga ibuk suka!" Jawab Harvi sembari mengulurkan roti tersebut, wanita itu tersenyum kecil, lalu memberikan uang berwarna biru, lima puluh ribu rupiah.

"Waduh. Ini tidak ada kembaliannya buk, tidak ada uang kecil saja buk?" Ujar Harvi, ia tahu. Sekarang ia cukup mahir dalam hal menghitung, Ama yang mengajarinya.

"Itu buat kamu dek. Semangat ya jualan nya? Anak pinter..." Ujar wanita itu sembari mengelus rambut Harvi lembut, seraya tersenyum ramah. Harvi tersenyum lebar mendapati hal itu.

"Tidak merepotkan ibuk?" Tanya Harvi yang di gelengkan kepala oleh wanita tersebut.

"Terima kasih ya buk... Terima kasih sekali." Ujar Harvi sembari mencium tangan wanita itu.

Harvi Where stories live. Discover now