Laut

1.2K 120 18
                                    

Sore itu suasana tampak cerah, matahari sudah mulai terbenam. Kedua sejoli yang baru saja menginjak pasir pantai tampak tertawa lepas mendapati langit sore yang cantik. Mada segera menarik lengan kekasihnya itu untuk berlari menuju bibir pantai. Tawa keduanya terdengar lepas, tak akan ada yang bisa menghentikan langkah keduanya.
Mada berhenti di bibir pantai seraya mengatur nafasnya yang memburu. Ia menghirup udara segar itu, rasanya ia bisa sedikit rehat dari hiruk-pikuk dunia yang kadang kala membuatnya letih, Mada menatap wajah wanita yang sedari tadi ia genggam itu. Tawanya masih terpampang jelas di wajah cantiknya.

Awan dan alam sedang bekerja sama kali ini. Keduanya mencipta hangat. Lalu wanita itu tersenyum manis. Mada menatapnya sayu. Hati mana yang tak akan jatuh ketika melihat paras cantiknya itu.

"Cantik." Ujar Mada yang masih setia menatap wajah kekasihnya itu.

"Kamu suka?" Tanya Mada yang langsung di anggukan oleh Zora.

"Laut! Gua mau kenalin pacar gua. Cewe paling cantik setelah bunda. Cewe yang paling gua sayang! Anaknya agak bawel. Tapi gua suka! Liat, disini juga ada yang cantik selain pemandangan sore ini!  cewe gua emang berisik, sama kaya ombak. Meskipun berisik, tapi bikin tenang!" Teriak Mada pada kubangan air di depannya yang tak terlihat ujungnya, juga pada gulungan ombak yang sedari tadi menerpa bibir pantai. Zora terkekeh, menatap wajah Mada yang terlihat benar-benar tulus mencintainya. Tapi bagaimana dengan dirinya?

"Nanti gua balik lagi, sama cewe yang sama. Setelah gua lamar dia nanti." Terusnya

"Mada... Aku tunggu. Aku bakal nungguin terus!" Jawab Zora, Mada mengalihkan pandangannya pada Zora, menatap wajah yang tak bosan bosannya ia pandang.
Zora melepaskan genggaman tangan kekasihnya itu, lalu mulai melangkah lebih dekat ke arah air di depannya, lalu mulai mencipratkan air tersebut pada Mada, membuat Mada memekik senyuman kecil. Ia mulai mengikuti apa yang dilakukan oleh kekasihnya itu.

****

Lalu, bagaimana dengan keadaan pemuda yang ditelantarkan begitu saja oleh Mada? Ia hanya bisa merebahkan badannya di atas ranjang. Rasa sepi menyelimuti hatinya. Asam lambung pemuda itu naik sedari kemarin. Membuat Harvi kesulitan bergerak, hanya saja Hari ini perutnya terasa lebih baik.

Terkadang orang terlalu ingin menjadi pahlawan bagi orang lain, tapi lupa untuk menolong dirinya sendiri. Alhasil Harvi hanya bisa meringis perih di dalam kesunyiannya. Sedangkan Mada bersenang senang bersama kekasih yang ia puja puja itu.

"Kakak ke pantai... pasti seru! Lihat ombak... Kalau aku tadi boleh ikut pasti asik..." Ujar Harvi sembari melihat kearah ponsel yang didalamnya menampilkan keindahan laut. Harvi begitu menyukai suasana laut, Laut menjadi tempat favorit nya, berandai-andai ia bisa mengunjungi pantai lagi bersama keluarga nya seperti dahulu. Ibunda dan ayahnya faham betul dengan apa yang disukai anaknya itu. Tak jarang keduanya mengajak putra-putranya untuk berlibur ke pantai.

"Waktunya bicara sama bunda dan ayah! Wih... Harvi mau cerita banyak." Ujar Harvi yang langsung bangun dari tidurnya, mendengar panggilan untuk melaksanakan shalat, Harvi mengingat betul perkataan ibundanya. Jika ia ingin berbicara dengan orang yang sudah pergi dan tak bisa kembali, Harvi harus melaksanakan shalat. Perkataan tersebut selalu teringat jelas di benaknya, beribadah juga menjadi jalan baginya untuk bercerita kepada kedua orangtuanya, juga menjadi jalan untuk mendekatkan diri pada sang Maha kuasa, Itu yang selalu tertanam di dalam benaknya.

Lagi, tak pernah Harvi merasa bosan saat harus terus-menerus menata baju dan mukenah mendiang kedua orangtuanya setiap kali ia ingin melakukan shalat. Senyumnya melengkung jelas di bibirnya. Hal itu dapat menghilangkan rasa perih dan nyeri di ulu hatinya, Harvi begitu bersemangat untuk melaksanakan kewajiban umat beragama pada umumnya.

"Halo bunda, ayah! Bagaimana kabarnya disana? Disana tidak ada rasa sakit kan ya? Disini masih ada bunda! Perutnya Harvi kemarin sakitttttt sekaliii." Ujar Harvi selepas melaksanakan shalat nya itu, Harvi menceritakannya dengan penuh kegirangan, juga sangat berekspresi. Bak orang yang tak waras, berbicara dengan ruangan kosong, yang hanya ada dirinya sendiri disana.

"Tapi sekarang sudah baik ko bun.... Kakak juga sudah baik. Kakak sudah sehat! Sekarang Kakak pergi ke pantai, bersama kak Zora."

"Bunda belum pernah ketemu Kak Zora ya? Kaka belum pernah bawa kerumah ini pas bunda masih tinggal disini.."

"Kak Zora cantik bunda! Kakak sayanggg sekaliiii ke Kak Zora, Kakak sepertinya sebentar lagi menikah deh bunda. Nanti datang ya sama ayah? Nanti aku kenalkan.."  Terusnya sembari menatap kedua tumpukan kain di dekapannya itu. Harvi mengulas senyum tipis, kini matanya terasa panas. Nafasnya sudah mulai tak beraturan, seperkian detik kemudian, air matanya mulai mengalir dan mulai berjatuhan di atas tumpukan kain dibawahnya itu.

"Kenapa ko tinggalin Harvi sama Kakak sih bunda? Ayah... Harvi kangen main sama ayah, Harvi kadang juga kangen di sisirin Bunda, di suapin bunda... Sekarang sudah tidak ada."

"Harvi kenapa tidak di ajak ikut? Bunda sama ayah kapan jemput Harvi? Harvi kadang capek kalau di pukulin Kakak. Harvi takut kalau dibentak-bentak terus, Harvi ga kuat kalau harus dikatain cacat." Ujar Harvi sembari terisak, ia menyerka air matanya yang masih mengalir deras, seraya memainkan ujung kukunya itu.

"Nanti kita ketemu lagi kan? Harvi tungguin ya?" Suaranya terbata-bata dikarenakan isak tangisnya.

"Dua hari lagi Harvi ulang tahun loh bunda, ayah! Harvi tidak minta kado banyak. Harvi mau tiup lilinnya bareng bareng kaya dulu, ada ayah, Bunda, Kakak. Kira kira bisa tidak?"

"Berarti... Harvi umur berapa?"

"Satu... Dua... Tiga..."

"Oh! Delapan belas ya? Kemarin tujuh belas, ditambah satu, jadi delapan belas."

"Harvi sudah besar! Lihat, Harvi sudah besar bunda!" Suarany bergeming di seluruh ruangan, tak ada yang menjawab pertanyaan nya sama sekali, hanya ada suaranya yang sedikit bergetar, menandakan rasa duka yang menghujam batinnya. Rasa sepi dan bingung menghantui pemuda tersebut, ia berharap ada seseorang yang menghampirinya, sekedar untuk mendengarkannya atau bisa merangkul tubuhnya yang terasa gersang. Haus dengan perhatian, tak dapat di pungkiri. Syndrome yang di deritanya, membuat Harvi terus-terusan merasa ingin di manja. Takdir berkata lain, selepas peninggalan orang tuanya, kini Harvi tak dapat merasakan bagaimana rasanya dimanja. Diperhatikan seperti dahulu, andai saja waktu bisa diputar kembali. Ia ingin kembali ke masa lalu dan tak ingin beranjak dari masa-masa itu.

***

"Mada! Kamu foto apasih sebenernya? Sunset nya disana, kenapa kameranya ngadep sini?" Tanya Zora pada Mada yang sibuk memotret ke arah nya, Mada hanya mengulas senyum manis, menatap layar ponselnya.

"Kamu juga ga kalah cantik ra. Kamu foto aja sunset nya, aku foto kamu." Pungkasnya, seharian penuh Zora mendapatkan pujian dari Mada, perutnya sudah lelah untuk tertawa, bibirnya juga telah kram untuk tersenyum terus menerus, Zora hanya menyeringai kecil, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lautan di depannya, membiarkan Mada yang masih terus memotret dirinya.

"Kalau misal dia jodoh orang, aku juga orang. Kita bakal terus sama sama ya ra.. aku bisa ngadepin semuanya, asal sama kamu. Tapi kalau ga ada kamu? Aku gatau ra. Aku gatau harus jalanin gimana." Batin Mada, ntah dengan cara apa Zora memikat hati pria itu sampai ia terjatuh sedalam ini. Bahkan Mada rela menuruti perintah Zora untuk membuang adiknya, yang jelas. Harvi terlebih dahulu yang mengenal Mada, Harvi yang terlebih dahulu menghabiskan waktu bersama Mada. Haevi yang menjadi tempat bercerita Mada sedari kecil, tapi sekarang? Mada malah hendak membuang pemuda yang tak tahu menahu letak kesalahannya, demi wanita yang baru ia kenal 3 tahun terakhir,
Cinta membutakan segalanya.

Haloooo! Agak rajin ya sekarang, up nya setiap hari. Semoga kalian ga bosen ya sama Harvi?  Jangan lupa bintang bintang nya. Komen kalian juga! Makasihhh 👋👋👋

Harvi Where stories live. Discover now