Hari ini lebih baik

1.6K 156 11
                                    

Dua hari telah berlalu, Harvi meringkuk lemas di ranjangnya, ruangan yang kosong dan hampa ini sudah teramat sangat membosankan bagi Harvi, air matanya membasahi bantal, jemarinya bermain dengan sprei berwarna biru polos itu.
Sayup-sayup terdengar suara langkah kaki menuju ke arah kamar Harvi, Harvi pun mengalihkan pandangannya ke arah pintu sembari mengusap air matanya, menunggu seseorang yang akan masuk ke dalam kamarnya.

"Harvi.." sapa Theo sembari membawa nampan berisi makanan. Harvi kini menjadi lemas kembali, ia menahan tangisnya, hidungnya memerah. Ia tak henti hentinya memainkan jemarinya itu

"Loh... Om Theo kesini ko sedih?"

"Katanya kaka bakal jemput... Sudah dua hari Harvi disini. Tapi tidak di jemput jemput.. om bohong terus.." jawab Harvi sembari mengatur nafasnya karena menahan tangisannya itu supaya tidak tumpah, ia benar benar merindukan sosok sang kakak, ia merasa khawatir akan keadaan Mada dan bagaimana jika ia di buang dan di tinggalkan begitu saja oleh Mada? Harvi begitu ketakutan.

"Pasti di jemput ko.. kakaknya Harvi mungkin sibuk, atau ga... tau kalau Harvi harus di rawat lebih lama agar lebih sehat. Ya?" Jawab Theo, Harvi menggeleng

"Bagaimana kalau di buang?"

"Engga ko."

"Kaka..." Gumam Harvi sembari menatap ke arah pintu di hadapannya itu

"Vi! Eh... Dok!" Sapa Mada yang mengejutkan Harvi dan Theo. Matanya menatap tajam ke arah Harvi. Sedangkan Harvi terbelalak melihat Mada, ia merentangkan kedua tangannya, menunggu Mada untuk mendekat ke arahnya. Sedangkan Theo menatap tajam kearah Mada dari ujung rambut hingga kaki. Theo tau, tak mungkin anak yang mempunyai keterbelakangan seperti Harvi berbohong. Theo yakin betul bahwa Mada lah yang membuat Harvi seperti ini.

"Kaka! Kaka kemana saja.... Harvi sudah tunggu lama... Kaka sibuk sekali ya?" Tanya Harvi sembari menahan tangisnya

"Loh... Harvi, kan kakaknya sudah disini. Tidak boleh sedih begitu... Ya?" Saut Theo, Harvi mengangguk paham lalu berusaha menahan air matanya yang akan tumpah

"Mas. Adeknya minta di peluk?" Bingung Theo saat melihat Mada yang terdiam dan tak mendekat sedikit pun kearah Harvi, Mada pun mengangguk lalu menghampiri Harvi dan memeluknya, Harvi mememeluk tubuh sang kaka erat. Ia menenggelamkan wajahnya di dada Mada, sedangkan Mada bergerak tak nyaman, membuat Theo semakin yakin akan kebenaran yang diucapkan oleh Harvi tempo hari.

"Mas, saya mau ngomong sebentar." Potong Theo ketika melihat Mada yang benar-benar tak merespon pelukan Harvi dengan baik dan hangat

"Harvi ikut."

"Loh? Sebentar ko... Ga lama ko Harvi..." Jawab Theo

"Engga. Nanti Harvi ditinggal lagi.... Harvi tidak mau kalau sendiri lagi ka... Harvi ikut."

"Ngomong sebentar ko, bahas sakitnya Harvi, di depan sini loh. Sebentar ko nak" ujar Theo meyakinkan Harvi

"Kenapa ga ngomong disini saja? Sama saja kan?" Saut Harvi

"Bentar doang vi, biar kita cepet pulang. Nurut bentar ya?" Saut Mada yang mencoba melepaskan genggaman Harvi dari lengannya, Harvi menggeleng cepat, lagi. Harvi menitihkan air matanya, ntah. Harvi merasa takut jika jauh dari sang kakak, ia takut jika ia di tinggalkan begitu saja oleh Mada, tapi di dekat Mada juga membuatnya tersiksa. Harvi tak kisah jika harus di pukuli, tapi setidaknya ia berada dekat dengan Mada. Karena hanya Mada lah satu satunya keluarga dan teman bagi Harvi

"Sebentar nak. Sebentar ko..." Ujar Theo, Mada pun melepaskan genggaman tersebut dengan terpaksa dan sedikit kasar, lalu berjalan keluar ruangan

"Ayo dok." Ajak Mada yang berhenti di tengah pintu, menoleh kearah Theo yang menenangkan Harvi.

Harvi Onde histórias criam vida. Descubra agora