24

963 133 23
                                    

Dengan tangan bergetar, mata yang menahan tangis, Mama memberanikan diri untuk menelfon Jimin usai membaca satu pesan yang seolah meremukkan hati setiap ibu. Ia masih berharap pesan itu hanyalah ilusi semata.

"H-halo, nak Jimin."

"Halo, tante. Tante tenang dulu ya, Jimin mohon. Biar Jimin yang jelaskan keadaan Victor saat ini," balas Jimin dari seberang sana.

Baru saja Mama merasakan kebahagiaan akan lahirnya sang cucu, tetapi ia harus diterpa kenyataan pahit setelah mendengar jawaban Jimin. Kini ia tak mampu lagi membendung tangis yang sedari tadi ingin jatuh. Air mata itu turun deras bak air hujan di musim kemarau. Tubuhnya bahkan terduduk lemas di atas lantai rumah sakit. Seseorang menghampirinya dengan terkejut. Ternyata Papa. Pria baya itu tanpa bertanya hanya mengusap bahunya, memilih menunggu Mama selesai bertelefon.

"Victor mengalami kecelakaan saat ia hendak menyebrang di jalan kota Tokyo. Ia tertabrak sebuah mobil yang melanggar lalu lintas. Tapi tante jangan khawatir, alhamdulillah Victor segera dilarikan ke rumah sakit oleh masyarakat. Penabrak sedang diadili di kantor polisi."

Di tengah air matanya yang tidak mau berhenti turun, Mama berusaha tenang dan berpikir positif. "Nak Jimin, sekarang bagaimana keadaan putraku?" desak Mama tidak sabar.

"Dia baru selesai operasi. Kepalanya bocor, dan terlalu banyak mengeluarkan darah. Bersyukur stok darah di rumah sakit masih tersedia, sehingga tidak butuh lama untuk melakukan operasi. Selebihnya tidak ada luka dalam yang serius. Maaf baru memberitahu tante sekarang. Jimin juga panik. Sekarang Victor sudah dipindahkan ke ruang rawat. Kita berdoa saja semoga dia segera siuman."

Perasaan Mama campur aduk. Ia begitu terpukul karena tidak bisa menemani Victor yang baru saja melewati masa antara hidup dan mati. Ia sangat ingin terbang ke Jepang dan memeluk putranya. Ada di sampingnya saat Victor membuka mata. Tetapi, keadaan di sini juga tak memungkinkan ia untuk pergi.

"Tante..." suara Jimin terdengar lirih. "Tante jangan banyak pikiran dulu. Jimin yakin Victor akan baik-baik saja dan segera siuman."

"Nak Jimin..."

"Iya tante."

Mama menggigit bibirnya untuk meredam tangis. "Ruby sedang proses persalinan."

"APA?!"

"Ruby sejak tadi terus memanggil nama Victor. Ia sangat ingin ditemani suaminya," parau Mama. Ia menggenggam tangan Papa dengan erat. "Mengapa ini harus terjadi pada putra dan menantuku?"

Jimin terdiam di seberang sana. Ia menarik nafas berat. "Pembukaan ke berapa, tante?" tanyanya kemudian.

"Hendak ke-2."

"Oh, ya Tuhan."

"Nak Jimin, tante ingin ke sana. Tante ingin bertemu Victor!"

"Victor biar Jimin yang rawat. Tante tidak bisa pergi dalam keadaan panik seperti itu. Percaya sama Jimin, dia akan segera pulih. Lebih baik tante temani Ruby, setidaknya tante menggantikan Victor yang tidak bisa menemani Ruby melahirkan."

"Nak Jimin, tolong jaga putra tante. Tolong jangan tinggalkan dia sedetik pun."

"Itu pasti, tante."

"Tolong terus kabari tante mengenai kondisi Victor. Mama harus menemani Ruby."

"Baik, tante. Oh, Jimin tutup dulu, ada dokter."

Usai mematikan panggilan, Mama tak bisa berhenti menangis. Melihat itu, Papa segera memeluknya. "Putra kita, Paaa..." tangis Mama.

"Kita harus tenang dan banyak-banyak berdoa. Ayo, lebih baik kita temani Ruby," ajak Papa.

***

"Mama, om Victor dimanaa?" cecar Ruby begitu melihat Mama dan Papa masuk ke dalam ruang persalinan. Ia tidak lagi memedulikan rasa sakit di perutnya. Yang Ruby butuhkan sekarang hanya Victor, suaminya.

Mama mendekat dan segera meraih tangan Ruby untuk digenggamnya. "Sayang, kamu harus kuat ya."

"Maksud Mama apa?" Ruby menatap tidak mengerti.

Mama menggigit bibirnya karena tak sanggup menjelaskan pada Ruby apa yang sebenarnya terjadi. Mama menoleh Papa, seakan meminta bantuan.

Bunda yang sebelumnya sudah diberitahu hanya mampu berpura-pura tidak mengetahui apa pun, begitupula Sooya. Mereka hanya mampu saling merangkul.

"Victor tidak bisa pulang karena urusannya belum selesai," jawab Papa meski ia harus berbohong. Ini semua demi kesehatan Ruby dan calon bayinya.

"A-apa?" Ruby menatap tidak percaya. "Maksud papa, Om Victor lebih memilih pekerjaan daripada menemaniku melahirkan? Tidak mungkin, Pa." Tangis Ruby pecah. Rasa sakit di tubuhnya tidak lagi berarti. "Aku nggak bisa kalau nggak ada Om Victor di sini."

Mama segera mungkin memeluk sang menantunya.

"Om Victor jahattt!" teriak Ruby. "Dia bilang dia tidak sabar ingin melihat baby Orion lahir, tapi kenapa sekarang dia tidak ada di sini?!"

Semua ikut panik melihat kondisi Ruby. Sampai tak lama kemudian, Ruby berakhir tak sadarkan diri.

Apakah mereka harus memberitahu Ruby tentang apa yang menimpa suaminya?

***

Jimin tidak mampu menahan rasa harunya ketika mendapati Victor sudah siuman. Setelah menunggu berjam-jam dalam kecemasan, akhirnya ia bisa bernafas lega.

"J-jimin," lirih pria itu.

"Akhirnya lo nggak mati, Vic. Lo belum nepatin janji ke gue."

"Sialan. Gue baru bangun malah ngebahas janji." Victor terkekeh lemah. "Janji apa emangnya?"

"Lo janji mau pamerin anak lo ke gue kalo dia udah lahir."

Victor terdiam untuk beberapa saat. "Tadi gue mimpi indah banget, Jim. Rasanya gue nggak mau bangun."

Jimin berusaha menahan air matanya supaya tidak lolos. "Lo mimpi apa?"

"Gue mimpi Ruby melahirkan dan gue ada di sampingnya. Anak gue cakep banget, Jim."

"Vic."

"Apa?"

"Gue tahu lo baru aja bangun. Lo baru aja melewati masa kritis. Bahkan kepala lo masih diperban. Tapi sorii banget gue harus bilang gini." Jimin menjeda kalimatnya, ia menarik nafas berat sebelum melanjutkan. "Satu jam yang lalu Ruby baru saja melahirkan."


***

***

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.






Guys, jangan lupa buat streaming lagu collab Jennie & Zico di spotify!

Vote & commment sangat berharga bagi penulis :)

CEO's Little Wife | Taennie AUWhere stories live. Discover now