27

789 111 42
                                    

"Wah, selamat ya, kak! Akhirnya mau menikah juga. Ruby seneng banget pas tau kabar ini." Gadis itu memeluk figur sang kakak dengan tulus dan perasaan haru.

Sooya tak terasa menitikkan air matanya. Ia mengusap rambut adiknya penuh sayang. "Makasih ya, dek. Kakak juga nggak percaya akhirnya bisa menemukan sosok itu. Dia bikin kakak percaya sama cinta lagi."

"Nanti kalau udah nikah kakak mau tinggal dimana? Jangan di Korea plis, di sini aja biar kita sama-sama terus. Suruh Om Seokjin aja yang kerja di sini."

"Kakak nggak tahu, dek. Gimana nanti aja ya." Sooya tersenyum simpul. "Oya, mana Orion? Kakak udah kangen banget nih sama bayi gembul itu?"

"Lagi sama daddy-nya," Jawab Ruby. "Om Victor tuh gak mau lepas banget sama Orion. Nempeeel terus kek perangko."

Tawa kecil Sooya berderai. "Maklum, dia kan udah bapak-bapak, Ruby."

"Kalian ngomongin saya ya? Saya denger loh!" Teriakan Victor yang baru muncul dari dalam kamar sambil menggendong Orion membuat kedua adik kakak itu saling pandang kemudian tertawa bersamaan.

***

"Om Victor, kok nggak bangunin aku?"

Victor yang kini tengah sarapan sendirian di sofa apartemen menoleh ke arah pintu kamar. Didapatinya presensi Ruby dalam balutan gaun tidur bertali tipis di bahunya. Panjang gaun itu sebatas betis namun terdapat satu belahan yang panjangnya naik sampai paha. Potongan gaun di bagian dada terlalu rendah, sehingga memperlihatkan belahan dada Ruby yang terlihat padat dan berisi. Kardigan yang membalut tubuh sang gadis sepertinya gagal membuat Victor untuk mengalihkannya. Sang CEO justru memilih memperhatikan gadis mungil itu yang kini mulai berjalan ke arahnya. Victor membasahi bibirnya sambil terus memandang Ruby dengan tatapan tajam namun penuh minat.

"Maaf nggak bangunin kamu. Semalam kayaknya kamu kecapekan kan habis perjalanan dari Jakarta. Semalam juga malah tidur duluan, ninggalin saya," balas Victor lembut. "Sini, sayang. Sarapan dulu," lanjutnya.

Tanpa ragu, Ruby merayap naik ke atas pangkuan Victor. Tak peduli pria itu sedang sarapan sekalipun. Ia membenamkan tubuh mungilnya dalam dekapan hangat sang CEO.

"Masih ngantuk, hmm?" tanya suara bariton itu sambil memeluk tubuh mungil di pangkuannya tersebut. Victor menciumi pelipis Ruby dengan gemas.

"Om Victoor, aku lapar." Ruby tiba-tiba memunculkan wajahnya yang semula bersembunyi di leher suaminya.

"Hmm, bayi besar saya lapar ternyata." Victor mengambil sandwich dari atas piring, mencubitnya sedikit sebelum ia sodorkan di depan mulut Ruby. "Buka mulutnya."

Ruby menurut. Ia menerima suapan dari Victor lantas mengunyahnya. "Umm, kok enak?"

Ekspresi menggemaskan itu membuat sang CEO tak tahan untuk memborbardir Ruby dengan ciuman. "Kamu tuh yaa, kenapa gemesin banget sih. Saya suka pusing tahu. Bawaannya pengen cium terus. Mana mukanya baby face banget lagi. Kamu mau lomba lucu-lucuan sama Orion, iya?"

Seperti sengaja, Ruby menambah kegemasannya dengan tersenyum sambil memamerkan gummy bearnya pada Victor.

"Tuh, tuh, malah makin godain saya. Sini kamu. Mau saya cium sampe pingsan."

Ruby terkekeh selagi Victor benar-benar menciumnya dengan brutal. Mulai dari kening, hidung, pipi, dagu, bibir dan berakhir menggigit lehernya dengan pelan.

"Eh, Om Victor, turunin nggak?" Ruby terkejut karena tiba-tiba tubuhnya melayang. Ternyata Victor menggendongnya dan membawanya kembali ke dalam kamar. "Om Victoor, aku belum sarapaan!"

"Tunda dulu sarapannya! Saya mau bikin adik buat Orion!"

"HAH?! T-TUNGGU, OM VICTOOR!!"

***

Dua insan itu tak henti mengulum senyum sepanjang perjalanan. Mereka bak dua sejoli yang tengah dilanda kasmaran. Pagi itu setelah sarapan keduanya memutuskan untuk menyusuri jalanan di sekitar Ciwidey. Belum terlalu banyak orang di sana.

"Cuaca bandung di pagi hari emang seenak ini ya," celetuk sang pria dengan tangan yang tak sedikitpun melepas genggaman pada tangan gadisnya yang lebih kecil darinya.

Ini hari kedua mereka berada di Bandung. Setelah memikirkan dan merencanakan hari yang pas, akhirnya Victor mengajak Ruby ke kampung halaman gadis itu. Baby Orion mereka titipkan pada orangtua Ruby. Keduanya sepertinya ingin menghabiskan waktu berduaan saja untuk sementara. Mereka bahkan memilih menyewa apartemen untuk menginap selama di Bandung.

"Iya. Makanya aku bersyukuuur sekali terlahir di kota ini."

"Selama di Jakarta kamu pasti sering kangen ke sini ya?"

"Iya dong, Om. Kangen banget. Meskipun Jakarta terlihat mewah tapi Bandung itu indah."

Victor menghentikan langkahnya, yang otomatis diikuti sang istri. Ia tersenyum sambil menatap ke arah Ruby dengan tulus. Tangannya terangkat untuk menyapu pelipis gadis itu. "Saya pernah denger, kata orang Bandung itu diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum," tuturnya lembut. "Sekarang saya percaya perkataan itu. Tahu nggak kenapa?"

Ruby terlihat berpikir sesaat walau pada akhirnya memilih menggelengkan kepala.

"Karena di dalamnya ada kamu, sayang. Karena kamu juga bagian dari kota indah ini."

"Om Victor lagi gombal ya?" omel Ruby sambil tertawa kecil.

"Kok gombal sih, saya cuma ngomongin fakta." Victor beralih membawa Ruby ke dalam dekapan hangatnya. Ia menjatuhkan dagunya di atas puncak kepala sang gadis. "Saya tuh kalau nggak ada kamu, nggak tahu mau hidup kayak apa."

Ruby hanya diam mendengarkan, sambil diam-diam tersenyum.

"Ternyata luka separah dan sesakit apa pun selalu ada obatnya ya," sambung Victor. "Terimakasih karena kamu sudah menjadi penyembuh untuk saya, Ruby Jane."

Sesaat Ruby merasakan kecupan di kepalanya. Kecupan itu terasa amat menenangkan. Sekalipun ia pernah menyesali keputusannya karena menikah di usia belia, menjadi ibu di usia muda, harus menunda impiannya menjadi seorang penyanyi, terlepas dari semua itu, Ruby bersyukur karena dipertemukan dengan sosok pria seperti Victor.

"Om Victor nggak menyesal nikah sama aku?"

"Saya menyesal," Jawab Victor. Sejenak ia mendapati wajah Ruby terlihat kecewa. "Saya menyesal karena tidak mengenal kamu lebih dulu," lanjutnya.

Ruby hampir saja salah paham. "Tapi kalau kita kenal lebih dulu, kayaknya nggak mungkin juga bersama. Usia kita jaraknya beda jauh, Om."

"Iya juga. Soalnya pas kamu baru menetas, saya malah udah kuliah."

"Ibaratnya om Victor itu udah jadi fosil dan aku adalah legenda."

"Hei, perumpamaan macam apaa itu? Masa saya disamain sama fosil. Kesannya udah tua banget," gerutu Victor sebal.

Hal itu menuai kekehan kecil dari Ruby. "Om baru nyadar ya, Om tuh udah tua."

"Tapi saya masih ganteng!"

"Hehe yang bilang jelek siapa?"

"Rubyyy!!"

Pada akhirnya, mereka tertawa bersama. Kebahagiaan yang tak pernah direncanakan. Takdir yang tak pernah disangka. Meski terpaut usia yang berbeda jauh, tak menghalangi cinta itu hadir di antara keduanya.

 Meski terpaut usia yang berbeda jauh, tak menghalangi cinta itu hadir di antara keduanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Masih mau lanjut?

Atau sampe di sini aja wahai para readerss??

CEO's Little Wife | Taennie AUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang