Bab 15 | Time to study

8 0 0
                                    

Dari judulnya, kali ini kita balakan seneng-seneng, nih.
Seru kan? Belajar itu menyenangkan.
Siapa yang setuju?

Happy reading guys🥰

Sedari tadi Leo tampak tengah berkutat dengan komputernya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Sedari tadi Leo tampak tengah berkutat dengan komputernya. Jemarinya aktif mengetikkan berbagai tombol. Kali ini wajahnya benar-benar serius hingga tidak sadar seseorang tengah mengawasinya sambil menikmati sebuah apel.

Muak dengan Leo yang tidak kunjung menghentikan kegiatannya, Livi akhirnya mendekat dan melihat hal penting apa yang sedang Leo kerjakan.

"Lo lagi ngapain sih, Le?" Pertanyaan Livi yang terdengar tiba-tiba membuat Leo terkejut seketika.

"Livi lo bisa ngga sih, kalo masuk ke rumah gue minimal salam. Jangan ngagetin orang. Kaya kunti lo tiba-tiba nongol," tegur Leo sambil berusaha menetralkan detak jantungnya.

"Heh, gue udah salam ya. Kuping lo aja yang budek. Lagian lo lagi ngapain, sih? Sibuk banget," selidik Livi.

"Ngga ada. Tadi gue gabut aja, jadi iseng searching pola belajar orang Korea. Ngeri juga ya di sana." Leo masih menatap layar komputernya.

"Kalo gue juga kayanya ngga kuat mental deh. Dah mending gabut keluar yok!"

"Ke mana, sih? Lo ngga belajar?"

"Nanti deh, gue laper," rengek Livi sambil mengerucutkan bibirnya.

Livi lucu juga kalo lagi ngerengek gini, batin Leo.

"Udah, gue pesenin aja. Sekarang kita belajar bareng, gimana?"

"Padahal gue pengen nyari angin, tapi ya udah deh. Gue ambil buku dulu."

Mereka akhirnya belajar bersama. Meskipun kelas keduanya berbeda, tetapi mata pelajaran yang mereka dapat sama karena masih satu jurusan. Livi memilih untuk mempelajari fisika. Tidak terasa, hari sudah larut. Namun, sepertinya mereka melupakan sesuatu. Benar, sejak tiga jam yang lalu makanan tidak kunjung datang. Anehnya, Livi sudah tidak merasakan lapar. Apakah iya karena sebuah apel bisa membuat Livi kenyang?

"Le, makanannya mana?"

Leo yang baru saja menyadari segera mengecek ponselnya. Ketika menyadari sesuatu, dia sontak menutup mulut lalu meringis ke arah Livi.

"Li, sorry banget. Ternyata belum gue klik order. Sorry banget. Lo pasti udah kelaperan, ya? Bentar gue keluar ya." Leo tampak sangat khawatir pada Livi. Wajahnya terlihat bingung sekaligus panik.

"Sans Le, gue udah ngga laper kok. Sumpah."

"Jangan gitu Li, biar gue beliin bentar, ya."

"Ngga usah, Le. Serius."

"Ngga, ngga. Lo tunggu di sini. Ngga ada penolakan. Ini salah gue, jadi gue harus tanggung jawab. Lo diem di sini."

Livi sendiri bingung harus bersikap apa. Namun, rasanya senang ada yang memerhatikannya. Baginya, Leo adalah sosok yang bisa menjelma jadi siapa saja. Bisa menjadi ayah, ibu, kakak, teman, atau bahkan ....

Sementara itu, Zavas dan teman-temannya kini tengah melakukan balap liar bersama dengan anggota geng motor lain. Jalanan yang cukup ramai tidak menggentarkan aksi mereka. Leo yang tidak sengaja melihat hal itu berhenti sejenak untuk memastikan bahwa Arkan tidak ada di antara mereka. Setelah dipastikan tidak ada, dia melanjutkan perjalanan.

Zavas tersenyum lebar saat motornya menyentuh garis finish. Begitupun dengan teman-temannya yang bersorak ramai dan langsung menepuk bahu bidang lelaki itu. Hadiah Zavas terima dengan tersenyum meremehkan ke arah lawan.

"Thanks, gue cabut dulu. Seneng berbisnis sama kalian," ucap Zavas dengan bangga. Anak-anak Xander kembali ke markas untuk merayakan kemenangan mereka.

Baru saja akan menancap gas, Raka merasa ponselnya berdering. Matanya membulat tidak percaya melihat siapa yang menghubunginya saat ini. Tanpa pikir panjang, dia segera menerima panggilan tersebut.

"Hei, Re-Rea. Lo ...."

"Lo ngga usah kepedean, ya. Ini gue lagi urgent. Motor gue mogok, bantuan gue bisa ngga? Gue call Livi ngga bisa," cecar Rea. Meskipun sedikit kecewa, setidaknya Raka senang karena Rea sudah kembali percaya kepadanya.

"Share loc, gue ke situ sekarang."

"Oke."

[Share location]

Anak-anak Xander yang masih menunggu Raka akhirnya dia minta untuk pergi lebih dulu. Raka terlihat begitu sumringah kali ini.

"Widih, semangat bro! Pepet terosss!" pekik Kevin yang disambut tawa oleh Rival. Raka pun berlalu.

***

"Gimana, enak ngga?"

Livi masih enggan berkomentar. Leo benar-benar tahu saja apa yang diinginkan Livi. Rupanya Leo membeli berbagai macam makanan. Ada ketoprak telor, sate ayam, dan pentol goreng kesukaan Livi.

"Leo sumpah ini enak banget. Lo buruan makan, kek. Masa dari tadi gue doang yang makan."

"Lo aja, Li. Gue masih kenyang," jawab Leo sambil tersenyum. Dia senang, karena usahanya tidak sia-sia. Livi menyukai semua makanan yang dia bawa.

"Ngga. Lo harus makan. Nih, gue suapin!" Livi mengarahkan sesuap pentol goreng ke mulut Leo. Leo hanya bisa menghela napas pasrah sebelum disembur kalimat mutiara oleh Livi.

Usai menghabiskan makanan, Livi berpamitan untuk pulang.

"Enak ya lo, dapet guru les gratis, makan gratis, juga. Bersyukur lo punya temen baik kaya gue," celetuk Leo sambil melangkah mengantarkan Livi. Meskipun rumah keduanya sebelahan, tetapi lelaki itu harus memastikan bahwa Livi sudah masuk ke dalam rumah dengan selamat.

"Iya gue bersyukur, makasih udah ngasih gue makan. Next time gue yang traktir lo deh."

"Dah, gue masuk duluan ya. Thanks buat hari ini, Le." Livi melambaikan tangannya, lalu masuk ke dalam rumah. Setelah memastikan temannya aman, Leo kembali ke rumah.

Di rumah, Livi tidak segera tidur. Dia melanjutkan belajarnya hingga pukul dua pagi. Penjelasan dari Leo tadi masih Livi ingat. Metode pemecahan masalahnya memang berbeda dengan yang guru jelaskan di kelas, tetapi menurut Livi justru ini lebih mudah.

Berulang kali Livi mengucek matanya. Rasanya sudah tidak sanggup, tetapi dia harus menahan kantuknya untuk beberapa menit lagi. Tanpa diketahui Livi, Leo masih setia duduk di balkon seraya terus mengamati kamar Livi yang lampunya masih menyala. Leo hanya berusaha menjaga tanpa mengusik, karena dia tahu, sekeras apa pun dia menegur Livi tidak akan bisa. Livi tetaplah Livi. Keras kepala. Apalagi jika sudah berkaitan dengan nilai.

"Lo mau sampai kapan kaya gini, Li? Gue takut lo ngga bisa ngendaliin diri kalo gue ngga ada," monolog Leo.

Bukankah normal jika seseorang terobsesi untuk memperoleh nilai sempurna? Apakah itu sebuah kelainan?

***
Guys, menurut kalian normal ngga sih?
Kalian seambis Livi ngga sih?
Coba komen di bawah, berapa lama waktu kalian buat belajar.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 11 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Popularity (On Going)Where stories live. Discover now