20.) Menuntut Tanggung Jawab

323 42 0
                                    

Happy reading, yaa

_______

Pagi-pagi sekali aku sudah berada di Kediaman Kusumanegara yang berada di Kabupaten Bawera. Saat ini baik Ibu Kirana dan Ayah Ravenno sedang ada pekerjaan di daerah ini. Mereka menginap di kediaman ini, yang mengharuskan Alreno juga ikut tinggal di kediaman ini juga selama Ayah dan Ibu masih di sini. Tentu saja hal itu semakin mempermudah diriku menjalankan misi memberi pengakuan pada calon keponakanku. Karena aku tidak perlu pusing-pusing mencari keberadaan Alreno.

“Alreno ada di paviliunnya?” tanyaku pada maid yang kutemui pertama kali.

“Iya, Nona Kalila. Tuan Muda masih belum keluar dari kediamannya. Mari saya antar”

Aku mengikuti langkah maid muda ini yang membimbingku menuju paviliun Alreno yang terletak di bagian timur kediaman ini. Walau sudah hapal dengan denah setiap kediaman kusumanegara, aku tetap mengikuti peraturan kediaman ini yang mewajibkan setiap tamunya untuk diantar menuju daerah yang ingin dikunjunginya. Apalagi pegawai di kediaman ini kebanyakan belum mengetahui hubunganku dengan keluarga ini. Jadi aku pun sedikit memaklumi ketika mereka memperlakukanku layaknya tamu.

Sampai di depan pintu bangunan berplakat ‘Kediaman Xiao Yi Fan’, aku menolak ketika akan diumumkan kedatanganku dan memerintah semua pelayan kediaman ini untuk pergi menjauh.

Begitu membuka pintu kediaman ini, aku dikejutkan dengan suara Alreno yang menyapa dari sudut tergelap ruangan ini.

“Kenapa meminta semua pelayan menjauh, Kalila? Apa kamu mau berbuat asusila di kediamanku?”

Menyesuaikan mata dari pencahayaan terang ke gelap, aku pun akhirnya menemukan bayangan sesosok tubuh di balik partisi yang menghalangi tempat tidur agar tidak terlihat dari pintu secara langsung.

Kuhampiri Alreno yang sedang duduk di tepi kasur dengan muka bantalnya. Masih dengan outfit tidurnya yang tanpa atasan karena ia tidak nyaman ketika tidur harus terkurung dalam balutan pakaian tidur.

“Kenapa aku harus berbuat asusila bersama orang yang tidak mau bertanggung jawab.” balasku seraya menyampirkan kimono tidur di bahu Alreno.

Kuakui, tubuh Alreno sangat bagus. Lebih bagus dari Mas Satya malah. Proporsional dengan ukuran otot yang pas di bagian-bagian tertentu. Mungkin karena ia lebih banyak memiliki waktu luang untuk merawat tubuhnya daripada tunanganku yang akhir-akhir ini sangat sibuk.

“Kimononya dipakai dulu, Alreno sayaang.” tegurku gemas melihatnya mengabaikan kimono yang tersampir di bahunya jatuh begitu saja ke kasur.

Aku sudah terbiasa melihat Alreno bertelanjang dada sejak kecil. Bahkan hingga beberapa waktu yang lalu pun aku tidak mempermasalahkan ia bertelanjang dada di hadapanku. Tapi setelah mengetahui keberadaan Ramona dan calon bayi mereka, aku jadi merasa bersalah karena sudah terlalu dekat dengan ayah mereka. Sementara nasib mereka sendiri masih abu-abu.

“Kenapa sih? Biasa juga begini gapapa.” Alreno menggerutu sembari menuruti permintaanku memakai kimono dengan sedikit benar.

“Sudah mau punya anak juga masih semaunya sendiri.” cibirku. Aku menepuk pelan lengan Alreno, mengkodenya agar sedikit bergeser sehingga aku bisa ikut duduk di kasur sebelahnya.

Alreno mengangkat alisnya melirikku. “Siapa yang mau punya anak? Kamu sama Satya?” tanyanya.

“Kabǎo sama Satya menerapkan pacaran gaya nakal?”

Aku memutar mata mendengar sindiran Alreno tersebut. Sama sepertiku yang suka memanggil Alreno dengan embel-embel sayang ketika gemas dengan segala sikapnya. Ia juga memiliki julukan khusus untuk menggodaku ketika kami sedang bercanda.

Kabǎo . Kalila Bǎo.

Bǎo dari kata berharga. Memang memiliki arti yang bagus sebenarnya. Kalila yang berharga. Tapi Alreno lebih sering mengucapkan dengan pelafalan cadel main-main yang terdengar seperti karbo di telinga.

“Yang penting masih dalam batas aman. Ga kaya kamu. Pacar ga punya, tiba-tiba sudah mau punya bayi saja.” sindirku balik. “Kenapa ga mau tanggung jawab?” todongku.

Alreno melotot tidak terima. “Kenapa harus aku? Siapa yang hamil dengan siapa?”

“Ramona yang hamil dengan Alreno.”balasku datar.

Alreno terdiam terkejut. “Darimana kamu tahu?” tanyanya tajam.

“Abraham.”

Kutatap balik Alreno yang masih menatapku dengan tajam. “Sebenarnya aku tidak begitu peduli kamu akan menghamili siapapun di luar sana, Alreno sayang.” ujarku gemas. “Tidak sampai hal itu memengaruhi citra tunanganku di depan publik, dan membuatku mau tak mau harus mencari tahu.”

“Satya.” desis Alreno. “Semuanya karena tunangan brengsekmu itu, Kalila.”

Aku mengangguk kalem. “Aku tahu. Sebelum hadir di sini aku sudah mengintrogasinya semalam.”

“Dan ada iktikad baik darinya untuk merawat bayi itu serta menjamin kesejahteraan sang Ibu ke depannya.”

“Dengan menikahinya?” tanya Alreno memastikan.

Aku menggeleng. “Tentu saja tidak. Kamu yang paling tau aku tidak akan sudi diduakan.”

“Mas Satya tau ia sudah merenggut masa muda Ramona, jadi ia menawarkan kesejahteraan kepada wanita itu dengan cara mengirimnya keluar kota, sementara bayinya tetap di sini untuk kami rawat.”

“Kami?” tanya Alreno bingung.

Aku tersenyum. “Karena itu bayi Alreno, aku bersedia merawatnya.” kataku jenaka.

Alreno tertawa. “Kalau itu bayi Satya?” godanya.

Aku menatapnya sengit. “Kalau itu punya Mas Satya, jangan harap ia bisa bertemu denganku lagi setelahnya.”

Kembali Alreno tertawa terbahak. Dan tawanya berhasil mengubah suasana menjadi lebih santai.

Perlahan kurebahkan tubuh ke atas kasur, dan membiarkan kedua kakiku tetap menapak lantai. Alreno memutar badannya mengikuti pergerakanku. Salah satu tangannya ia gunakan untuk menyangga tubuhnya agar bisa duduk menyender.

“Aku masih ingat Kabǎo kecil dulu merengek ingin memelihara panda di rumah sampai akhirnya sakit.” ujar Alreno bernostalgia.

Aku memang pernah begitu ingin memelihara di rumah sampai sakit karena mogok makan saat masih TK. Papa sendiri sampai bingung harus bagaimana membujukku hingga akhirnya hanya Ayah Ravenno yang bisa membujukku mau makan kembali.

Aku tersenyum menerawang. “Beruntung aku memiliki Papa dan Ayah Ravenno yang begitu sayang kepadaku. Mereka kompak mewujudkan keinginanku dengan membangun kebun binatang pribadi untukku.”

Kualihkan pandang menatap mata Alreno secara langsung. “Sayangnya bayi Alreno nanti tidak seberuntung diriku. Papanya saja tidak mau mengakui.”

Alreno tampak salah tingkah. Ia berusaha mengalihkan pandangan matanya agar tidak menatapku langsung.

“Apa yang membuatmu ragu untuk mengakui bayimu, Alreno?” tanyaku lembut.

“Aku tidak bisa mengakui sang bayi saja tanpa ibunya, Kalila. Aku bukan Satya yang hanya bisa bertanggung jawab setengah-setengah.”

“Kamu yang paling paham kalau Mama tidak akan menerima menantu dari kalangan biasa. Malahan ia akan menyarankanku untuk menjadikan Ramona selirku saja.”

“Padahal kamu tahu sendiri, satu-satunya hal yang tidak ingin kuikuti dari Papa adalah memiliki selir. Seperti keinginanmu yang tidak mau diduakan, aku juga tidak mau memiliki lebih dari satu.”

Aku merenung mendengar keluh-kesah yang disampaikan Alreno. Posisinya memang begitu sulit untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya dengan cara normal. Ia tidak boleh gegabah atau akan merusak reputasi besar yang sudah terbangun puluhan tahun lalu.

“Kurasa menjadikan selir Ramona dahulu tidak masalah, Alreno. Yang terpenting bayimu sudah memililki status masa depan yang jelas dulu. Baru kamu memikirkan cara meluluhkan Ibu Kirana. Tenang saja, aku akan membantumu meluluhkan hati Ibu.”

The World Where You ExistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang