BAB 13 - Revisi

42.8K 2K 21
                                    

Tara mengendarai mobil CRV hitamnya tanpa arah dan tujuan. Dia tidak ingin pulang. Baginya, pulang hanya akan menambah masalah baru. Padahal sepanjang hari ini dia sudah memanfaatkan waktunya untuk melepas penat sejenak dari kesibukan yang ada, namun tetap saja rasanya belum cukup.

Heran, entah apa dosa yang dilakukannya di masa lampau hingga rasanya tidak pernah sekalipun semesta memihak padanya. Oh, andai saja saat SMA Tara tidak menutup diri, mungkin sekarang dia telah menikah dan hidupnya takkan sesusah ini? Tidak perlu mendengar nyokap yang selalu membandingkan dirinya, tidak perlu ambil pusing soal kepulangan Brandon, dan tidak perlu diam-diam memikirkan Ravel. Oke, Tara harus punya gengsi. Dia tidak mungkin mengatakan bahwa sesungguhnya ia merindukan pria itu.

Karena hari sudah gelap dan Tara tidak tahu harus ke mana. Akhirnya dia pun memutuskan untuk menginap di butik ketimbang pulang ke rumah. Toh, di butiknya tersedia kamar yang cukup nyaman untuk sekadar beristirahat. Tara langsung memutar setir mobilnya berbalik arah, entah mengapa rasanya dia ingin pergi ke suatu tempat dimana hanya ada dirinya sehingga ia bebas berteriak sekencang-kencangnya, mengeluarkan segala unek-unek yang berkecamuk di hatinya.

***

Begitu tiba di butik setelah menempuh perjalanan panjang—terhambat kemacetan weekend, Tara langsung tepar di atas kasur. Maklumlah, kelamaan duduk di mobil membuat tubuhnya pegal. Dia menatap langit-langit kamar sambil mengucapkan nama Ravel berulang kali. Jujur, Tara sendiri bingung. Entah setan apa yang merasuki tubuhnya hingga tiba-tiba dia menjadi haus akan kehadiran pria tampan itu. Apakah Tara harus ke rumah sakit? Cek kesehatan otak, mungkin?

Tara memejamkan matanya dan menarik napas panjang, memikirkan Ravel malah membuatnya semakin pusing. Rasanya dia membutuhkan seseorang untuk dijadikan sebagai teman curhat. Daripada kelamaan berpikir, akhirnya dia menyambar ponsel yang berada di atas nakas, kemudian pilihannya terjatuh pada Celine, sepupu tersayangnya.

Tara

· Lin, sibuk nggak? Gue pengen main ke rumah.

Send. Tara mengetuk-ngetuk jemarinya di atas nakas sambil mengigit bibir bawahnya. Semoga saja istri Audie itu sedang tidak banyak kerjaan. Tidak lama kemudian, terdengar bunyi notifikasi dan Tara cepat-cepat membuka pesan tersebut.

Celine

· Hey. Gue lagi nggak sibuk, ada yang penting?

· Sini main ke rumah. Gue tunggu.

Tara

· Yakin gue boleh main ke sana?

· Nggak ganggu pasutri, nih? :P

Celine

· Sekalian nginap juga nggak pa-pa.

· Lagian udah jam 10 juga, nginap sini aja.

Tara

· Yo wes. Gue otw sekarang.

Celine

· Sip, deh. Hati-hati.

Detik itu juga, Tara meloncat dari ranjang sembari tersenyum lebar. Sejak dulu Celine memang selalu dapat membangkitkan semangatnya. Tara tidak sabar untuk segera menemui sang sepupu. Dia bergegas mengganti pakaiannya, mengambil kunci mobil, dan segera melesat pergi menuju tempat kediaman pasutri baru—Audie dan Celine.

Sepanjang perjalanan, Tara memikirkan betapa beruntungnya Celine bisa menikahi Audie yang sudah mapan, tampan, perhatian pula. Celine seperti menang lotre, membuat Tara kadang merasa iri dan ingin segera menikah juga. Tapi, dengan siapa dia harus menikah?

Masa dengan Ravelino Harris?

Bad Boy in Black TuxedoWhere stories live. Discover now