BAB 7 - Revisi

70.7K 3.1K 23
                                    

Sepulang dari kantor, Ravel membuka pintu apartemennya dan menemukan Tara sedang duduk santai di sofa. Dia lagi-lagi mengambil es krim rendah kalori kesukaan Ravel. Sudahlah, Ravel memang harus ikhlas, sebab dia sudah mengatakan bahwa seisi kulkas adalah milik Tara. Masa hanya karena es krim mereka harus bertengkar. Terlalu kekanakan.

"Baru pulang?" Tara bertanya acuh tak acuh, dia sedang seru menonton film Hollywood kesukaannya. Tara menyukai segala hal yang berbau romantis, makanya dia tidak pernah bosan saat menonton The Vow, The Notebook, Nothing Hill, Dear John, The Great Gatsby, dan sebagainya. Seperti hari ini, dia kembali menonton The Notebook.

"Eh, itu tisu kok berserakan di lantai? Lo ngapain aja?" tanya Ravel, mendengus sebal melihat rumahnya yang berantakan. Sebenarnya dia hanya mau terlihat pura-pura cool, tapi gagal karena akhirnya malah kelihatan judes. "Oke, Tara. Kayaknya gue harus buat peraturan di rumah ini."

Tara sempat melirik—masa bodoh—ke arah Ravel, lalu kembali berpaling pada layar televisi.

"Pertama, jangan ngotorin rumah gue. Meskipun gue cowok, gue nggak suka rumah yang kotor dan berantakan. Kedua, lo bebas ngapain aja asal jangan merusak perabotan rumah gue, termasuk pintu," frasa terakhir jelas diucapkan Ravel untuk menyindir Tara. "Untung masih bisa diperbaiki."

"Ketiga..." sambar Tara kemudian. "Peraturan ketiganya biar gue yang buat. Daripada lo ngatur-ngatur gue, mending lo pulangin gue ke rumah."

"Fine! Lo mau pulang? Besok gue anterin sampai ke depan rumah, kalau perlu gue antar sampai ke dalam kamar lo. Puas?!"

Mata Tara sedikit berbinar, memandang Ravel tak percaya. "Eh? Yang bener nih gue boleh pulang?"

"Iya lah. Kurang baik apalagi sih gue?! Sampai rela dijutek-jutekin."

"Baik? Lo itu udah bawa paksa gue ke sini. Apa itu yang namanya baik? Heh?! Nggak heran gue jutek sama lo. Lo aja tega nyekap gue di sini. Cuma gue jutekin doang harusnya udah tahu bersyukur lo," sindir Tara. "Jadi gimana, gue benaran boleh pulang?!"

"Gue serius! Lo boleh pulang besok," tandas Ravel dengan raut wajahnya yang berubah serius. "Masih belom percaya juga? Udah deh, nggak usah kebanyakan mikir. Gue cuma kasih lo dua pilihan. Milih pulang atau tetap tinggal di sini!"

"Eh, iya, iya!" sahut Tara akhirnya. "Gue kan ragu! Nggak usah langsung galak gitu dong. Siapa tahu lo lagi isengin gue. Bisa aja, kan?"

Ravel geleng-geleng kepala. "Heran. Siapa juga yang mau isengin lo."

"Iya, deh ... jangan langsung emosi, dong. Biasa aja kenapa." Tara meletakkan kotak es krimnya di atas meja rendah dan berjalan ke arah Ravel. Dia mengulurkan tangannya dan menjabat Ravel sebelum mengucapkan, "Kalau gitu gue cuma bisa bilang thanks udah ngasih gue balik. Tadinya gue udah pasrah banget. Mm ... sejujurnya sih gue masih ragu."

Ravel terkekeh. "Ah,

"Udah ah, rese lo, Rav! Gue mau lanjut nonton dulu sebelum pulang. Besok, 'kan?"

"Tahun depan," jawab Ravel singkat, lagi-lagi memasang tampang sok cool.

"Ha?" Tara hampir saja percaya kalau tidak melihat seringai kecil di sudut bibir lelaki itu. "Ravel! Serius, dong!!!" teriaknya berkacak pinggang dan memelototi pria di hadapannya.

"Iya, iya, besok! Coba deh sehari aja nggak usah pakai teriak kalau lo emang nggak setuju. Kita nggak lagi di hutan, jadi, nggak perlu lo keluarin itu suara Tarzan."

"Oke-oke... sorry. Nggak lagi-lagi, peace," imbuhnya kalem sambil membuat tanda v dengan telunjuk dan jari tengahnya, serta sebuah cengiran. Kembali meraih es krimnya dan duduk bersantai di sofa, menikmati film yang dibintangi oleh Ryan Gosling dan Rachel McAdams itu.

Bad Boy in Black TuxedoWhere stories live. Discover now