BAB 14 - Revisi

43.1K 2.1K 38
                                    

"CELINE! Lin! Gue udah di depan," panggil Tara tidak sabaran sembari menekan bel rumah bertingkat dua, dengan nuansa keabu-abuan gelap dari beton berkombinasi kayu di hadapannya. Rumah yang baru dihuni oleh pasutri baru ini tampak asri dengan sebuah kolam hias berbentuk oval di sudut rumah. Ada pula beberapa pot gantung dengan bunga berwarna-warni, yang menghilangkan kesan monoton.

Tidak perlu menunggu terlalu lama, pintu depan pun terbuka, menampilkan Celine yang langsung menyambut Tara dengan sebuah pelukan hangat. "Sumpah, gue kangen banget sama lo, Ra. Tiap hari gue liat mukanya si Audie doang."

"Gue juga kangen sama lo, Lin. Makanya gue mampir ke sini," kekeh Tara geli. Dia mengeratkan pelukannya pada Celine. "Soalnya lo itu sepupu, sahabat, dan teman yang paling ngerti keadaan gue. Kalau Audie kan emang suami lo, iya wajar dong tiap hari liat muka dia."

"Miris banget lo! Makanya, zaman SMA tuh kerjaannya jangan belajar mulu. Nggak ada teman, kan, jadinya. Gue deh yang jadi sasaran," gurau Celine melepaskan pelukan mereka. "Daripada malam-malam kita pelukan nggak jelas di luar. Mendingan masuk dulu, yuk. Biar lo bisa sekalian lihat rumah baru gue, kemarin kan lo datang pas masih direnovasi."

"Yey! Gue yakin pasti keren banget."

"Makanya, lo cepetan nikah, dong, biar bisa punya rumah baru juga."

"Nggak ada calon, Mbok."

"Kasihan lo, Ra. Ya udah, ayo masuk," ajak Celine.

Tara masuk ke dalam ruang tamu yang penuh dengan peralatan berteknologi canggih, mulai dari TV, home theatre, playstation, bahkan sampai ke mesin dart. Dalam hati, Tara takjub, rumah yang baru dibeli oleh Audie setelah pernikahannya dengan Celine itu benar-benar luar biasa. Baru masuk ke dalam ruang tamunya saja sudah terpampang TV LED dengan ukuran 90 inci. Siapa sih yang nggak betah kalau nginap di sini? Bisa-bisa gue nggak mau pulang.

"Lin, Audie stres atau gimana sih sebenarnya?"

"Maksudnya?"

"Itu, si Audie udah stres?"

"Kenapa tiba-tiba lo bilang dia stres?"

"Baru di ruang tamu aja TV udah sebesar layar bioskop, gimana nggak stres coba. Emangnya itu TV mau dipakai buat apaan? Udah gitu sampai beli mesin dart segala."

"Kata Audie sih buat pajangan doang, terus katanya ini rumah mau dijadiin markas ngumpul bareng teman-temannya."

"Gila, enak banget, ya, jadi istrinya manajer."

Celine merespons dengan kekehan geli.

Tara mengekori Celine dari belakang sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Langkah mereka terhenti di depan sebuah pintu kaca yang ditutupi dengan gorden bermotif vintage. Celine membuka pintu dan mempersilakan Tara masuk layaknya seorang tamu penting. Berpose bak seorang putri kerajaan, Tara lalu mendaratkan bokongnya di sebuah sofa beludru empuk berwarna putih yang nyaman sekali. Sedangkan Celine mencari remote dan menghidupkan AC. Benar-benar ruang keluarga yang nyaman.

"TV-nya sekalian dinyalain, dong, Lin. Biar nggak sepi," pinta Tara saat Celine ikut mendudukkan dirinya di sofa.

Celine mendengus pelan, meraih remote yang ada di atas meja, dan menekan tombol power. Tara hanya mengacungkan jari membentuk tanda "peace" sambil meringis lebar. Dia memang tidak suka dengan kesunyian, membuatnya seram sendiri dan bulu romanya meremang, mengingatkannya pada sebuah film yang memiliki tokoh Ibu sebagai hantunya. Hih, seram.

"Yeh, kebiasaan deh lo ngerepotin gue."

"Hehe, namanya juga Tara. Paling doyan ngerepotin. Oh iya, omong-omong si Audie mana? Tumben nggak nyambut tamu spesial kayak gue?" Tara celingak-celinguk mencari sosok Audie yang tidak menampakkan batang hidungnya.

Bad Boy in Black TuxedoWhere stories live. Discover now