BAB 11 - Revisi

49.1K 2.3K 23
                                    

PERLAHAN, Tara membuka kedua matanya. Namun, segera ditutupnya kembali ketika cahaya matahari yang merambat masuk ke dalam ruangan langsung mengenai retinanya. Kepalanya terasa pening bukan main. God, apa sih yang gue lakuin tadi malam sampai kepala sakit begini? Sambil menutup mata, Tara mencoba untuk mengingat kejadian semalam.

Mabuk, lantai dansa, Brandon.

Oh, astaga. Brandon!

Di mana sepupunya itu sekarang?

Sekonyong-konyong Tara menendang selimutnya dan turun dari ranjang, betapa terkejutnya Tara ketika melihat pantulan dirinya di depan cermin. Wajahnya tidak berbentuk lagi, lipstiknya luntur, eyeliner yang semalam menggaris tipis bawah matanya meluber. Pakaian minimnya sudah berganti menjadi kemeja linen putih yang kedodoran plus celana basket yang tak kalah kebesarannya.

Demi Neptunus! Tara menelan ludahnya, siapa yang mengganti bajunya? Apakah BRANDON?! Kalau memang benar, itu berarti Brandon telah melihat tubuhnya? Astaga, tamat riwayat Tara.

Sorry, calon suami masa depan, batin Tara menyesali kebodohannya. Sudah terbukti, 'kan? Ke mana pun Tara pergi, dia pasti akan ditimpa kesialan. Entah apa dosanya sampai-sampai hidupnya cuma soal apes melulu. Fine, lupakan saja, semakin diingat malah membuatnya semakin sakit hati.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka, seseorang yang Tara kenal melangkah masuk sambil mengeringkan rambutnya yang basah dengan sehelai handuk. Brandon telah berpakaian rapi dan tentu saja wangi. Belum sempat Tara bertanya tentang apa yang terjadi, laki-laki itu sudah terlebih dahulu membuka suara.

"Lo ada di apartemen gue, semalam muntah dan tiba-tiba pingsan gitu aja," jelas Brandon tanpa ditanya. "Sepupu gue yang satu ini kenapa berubah total, sih?"

"Seriusan gue sampai muntah?" Tara terperangah.

"Iya, sampai baju gue jadi korban," jawab Brandon seraya duduk di pinggir tempat tidurnya.

Tara meringis merasa bersalah. "Sorry banget... nanti gue bayarin deh biaya laundry-nya, atau mau gue ganti yang baru?"

"Never mind, baju gue masih banyak." Brandon menurunkan handuk yang semula berada di kepalanya ke atas pangkuannya. "Lo itu kalau mau gila lihat-lihat tempat, dong."

"Ha? Maksud lo?" tanya Tara tidak paham, tapi kemudian segera terbelalak saat otaknya terpikirkan sesuatu. "Maksud lo... semalam gue teriak-teriak gitu pas mabuk?"

Brandon terkekeh pelan, merasa lucu melihat reaksi Tara baru saja. Kepalanya bergeleng lantas menjawab, "Lo pingsan gitu aja. Untung gue nggak sengaja ketemu lo. Kalau aja nggak ada gue, mungkin sekarang lo udah dibawa kabur sama cowok-cowok di kelab. Lagian, kok bisa sih anak kayak lo nyasar ke kelab. Bukannya lo itu paling anti-sosial di keluarga kita?"

Tara mendengus tak terima karena dijuluki anti-sosial. Namun, diam-diam dia menghela napas lega sebab 'gila' yang dimaksud Brandon ternyata tidak seperti tebakannya tadi. "Padahal gue cuma minum segelas mojito. Kok bisa sampai blackout begitu, ya?"

"Lo kenapa, sih? Lagi stres? Putus cinta?"

"Nope."

"Terus, bangkrut? Habisnya lo berubah banget. Gue aja awalnya ragu kalau itu lo. Tara si anak anti-sosial."

"Time flies, people change," jawab Tara berpepatah lalu mendudukkan dirinya di sofa yang ada di dalam kamar itu. Lelah juga dia dari tadi berdiri, terlebih kepalanya masih merasakan sedikit pening.

"So, kenapa lo bisa sampai nekat masuk kelab?"

"Gue... kangen dia."

"Oke, masalah perasaan," Brandon bergumam. "Dia siapa? Pacar?" lanjutnya bertanya dengan suara lebih keras.

"Kapan-kapan aja gue cerita."

Pria berkulit putih itu tersenyum dan mengangguk. "Ya, udah. Nggak apa-apa. Gue bakalan nunggu sampai lo ngerasa siap untuk cerita."

"Thanks, Don," lirih Tara agak malu. Kenapa dia bisa kembali bertemu Brandon? Sang sepupu jauh yang pernah Tara taksir diam-diam.

Brandon hanya menanggapi ucapan terima kasih Tara dengan senyuman.

"By the way, kenapa tiba-tiba baju gue berubah jadi kemeja kedodoran gini?" Tara menelan ludahnya. Oh Tuhan, dia sudah siap nyali untuk mendengar jawaban Brandon. "Kemeja ini punya lo, 'kan?"

"Yep, itu emang kemeja gue. Tapi tenang, yang ganti baju lo itu cewek di sebelah apartemen gue. Soalnya, baju yang lo pakai udah bau muntah," jelas Brandon dengan santainya. "Gue nggak lihat apa-apa. Nggak usah sampai pucat begitu mukanya."

"Tetangga lo itu benar-benar cewek, 'kan?" tanya Tara lagi, memastikan.

"Tenang, cewek, kok. Tulen, bukan transgender. Emangnya lo kira tetangga gue cewek apaan? Sebangsa Lucinta Luna?"

Tara bernapas lega. "Syukur, deh. Tadinya gue kira lo yang ganti baju gue."

"Ya, ampun. Gue nggak sebrengsek itu, kali." Brandon terkekeh. "Eh, by the way, lo lapar nggak?"

"Lumayan. Tapi perut gue masih agak mual."

"Ya, udah. Kita cari sarapan sekalian obat buat ngilangin mual lo. Tapi... kayaknya lo harus mandi dulu, deh," ucap Brandon sambil berusaha menahan tawa.

Meski agak bingung melihat Brandon yang tampak mengulum senyum, Tara mengangguk mengiyakan. "Oke, gue bau muntah juga," balasnya seraya berjalan menuju kamar mandi yang terletak di dalam kamar.

"Gue tunggu lo di lobi. Omong-omong, baju ganti lo udah gue gantung di kamar mandi. Gue minjem punya tetangga," tambah Brandon sebelum keluar dari kamar, meninggalkan Tara sendirian sambil merutuki keteledorannya.

Begitu menutup pintu kamar mandi dan berbalik badan menghadap cermin wastafel, teriakan gadis itu seketika menggema hingga ke telinga Brandon yang tengah berjalan ke pintu depan. Membuat tawa yang tadi ditahannya meledak begitu saja.

Tara mengumpat, jadi tadi Brandon ngetawain muka gue? Dia lupa dengan wajahnya yang kelunturan make up di sana-sini.

Dasar, bikin malu aja lo, Ra. Kenapa sih lo bisa ketemu lagi sama Don-Don?! Dia itu player yang harus lo jauhin, rutuk Tara dalam hati sembari membiarkan tubuhnya basah di bawah pancuran shower.

***

Bad Boy in Black TuxedoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang