BAB 6 - Revisi

77K 3.4K 54
                                    

Dua minggu telah berlalu setelah kejadian dimana Ravel mencium Tara secara paksa. Ravel yang keesokan harinya terbangun dengan perasaan menyesal langsung meminta maaf pada Tara. Dengan penuh perjuangan, akhirnya sedikit demi sedikit dia dapat memperbaiki hubungannya dengan Tara. Tidak gampang memang, bahkan demi dimaafkan, Ravel harus mengabulkan semua permintaan Tara yang cukup merepotkan dan tidak jauh berbeda dengan wanita hamil.

Permintaan paling menyebalkan adalah saat tengah malam dia diminta untuk membeli nasi kuning dengan syarat yang menjual harus selfie sambil memeluk Ravel. Setelah susah payah mengelilingi Jakarta untuk mencari, akhirnya dia berhasil mengabulkan request paling nyeleneh itu. Tetapi sekali lagi, dia tidak masalah dengan segala kemauan aneh Tara.

Yang penting Tara mau memaafkannya dan tidak terus-terusan meminta untuk pulang. Biarlah wanita itu bersabar sampai Ravel merasa benar-benar yakin untuk melepaskannya. Kini apa pun alasan yang Tara beberkan, Ravel sudah dapat membungkamnya dengan mudah. Termasuk urusan butik yang sementara diambil alih oleh Celine, itu pun Ravel juga harus meminta pertolongan Audie agar sahabatnya itu mau membujuk istrinya.

Sialnya, suasana hati Ravel menjadi mudah berubah-ubah semenjak tinggal seatap dengan Tara. Terkadang dia bisa merasa sangat bahagia saat melihat senyuman Tara yang meluluhkan, namun sedetik kemudian dia bisa menjadi kesal karena obrolan mereka selalu akan berakhir dengan permohonan Tara untuk pulang dan perdebatan-perdebatan lainnya. Apakah salah jika Ravel ingin menghabiskan waktu lebih lama lagi bersama Tara?

Dua minggu berlalu, Tara memang bersikap lebih ramah padanya. Tetapi soal perasaan dan segala tetek bengeknya, sama sekali tidak ada tanda-tanda kemajuan. Padahal biasanya Ravel dikenal dengan julukan monster wanita—hampir semua wanita bersimpuh di kakinya untuk meminta perhatian. Namun, Tara bukanlah salah satunya, wanita itu sama sekali tidak takluk oleh pesona Ravel.

Jujur saja, ini membuat Ravel penasaran dan tertantang dalam waktu bersamaan. Ravel tersenyum miring mengingat rencananya, akan dipastikan sebentar lagi Tara luluh di bawah pesonanya. Dia akan melakukan apa saja yang dapat membuat Tara menganggap keberadaannya, dan bukan hanya sebelah mata.

Tiba-tiba telepon genggam Ravel berbunyi.

Audie's calling...

Buru-buru Ravel mengangkat panggilan saat melihat nama sahabatnya tertera di layar. "Lo mau bawa kabar baik atau buruk, nih?" sapa Ravel setelah menekan tombol hijau. "Kalau kabar buruk, langsung gue reject."

"Hei, Bro," seseorang dari ujung sana balas menyapa dengan suara baritone familier yang langsung Ravel kenali. "Jangan buru-buru gitu, dong. Santai... santai, gue bawa kabar baik hari ini."

"Hmm, I see... so, udah lo urus semuanya? Nggak sabaran nih gue nunggu kabar baiknya," tanya Ravel penuh harap sembari merapikan ikatan dasi slimfit hitamnya. Dia memutar-mutar kursi layaknya sedang memutar patung porselen, perlahan dan penuh konsentrasi sambil menunggu kabar baik apa yang akan dibawakan oleh sahabat satu-satunya ini.

"Udah gue urus, kok. Lo cuma tinggal nunggu tanggal mainnya aja," jawab Audie dari seberang sana, tertawa meledek. "Baru kali ini gue lihat lo ambisius banget ngejar cewek. Biasanya kan lo selalu nunggu cewek-cewek pada ngemis dulu di kaki lo yang bau terasi."

"Diem lo." Ravel ikut tertawa akibat guyonan receh ala Audie. "Daripada lo yang ngemis-ngemis perhatian Celine sampai mau dilaporin ke polisi sama bokapnya."

"Yang penting ujung-ujungnya gue nikah sama dia, Bro. Meskipun sempat LDR-an. Nggak kayak lo, hubungannya nggak jelas. Kebanyakan one night stand. Makanya sampai sekarang nggak nikah-nikah."

"Biarin, nggak apa jomlo asal ganteng. Anyway, thanks ya. Lo benar-benar ngebantu gue," ucap Ravel girang karena yakin rencananya kali ini akan berhasil. Dia membiarkan Tara pulang, namun wanita itu akan tetap terikat padanya. "Celine nggak masalah juga, 'kan?"

"Gue percayakan dia ke lo. Dengan satu syarat, lo harus menurunkan kadar bad boy yang lo sandang dari zaman kuliah. Stop mukulin orang seakan-akan mereka itu sarung tinju, Bro. Cewek nggak suka sama cowok yang kasar," nasihat Audie terang-terangan. "Celine sih nggak apa-apa. Dia ngerti kok. Katanya, biarin aja. Siapa tahu jodoh. Gitu. Jadi, lo jangan sampai nyakitin Tara. Bisa-bisa gue disuruh Celine tidur di teras."

Ravel menyeringai membayangkan Audie sampai harus disepak keluar dari rumahnya sendiri. "Kasihan banget lo bisa dapat istri galak kayak Celine. Kalian kok bisa nikah, sih? Padahal katanya zaman SMA doyan cakar-cakaran? Heran deh gue lihat hubungan kalian."

"Justru karena itu jadi ada sisi romantisnya, dari cek-cok dan cakar-cakaran, tiap hari gue makin jatuh cinta sama dia. Buktinya setelah nikah kita malah manja-manjaan mulu," jawab Audie dari seberang.

"Itu sih gila namanya, jatuh cinta kok karena berantem," cibir Ravel merasa heran. "Ada-ada aja."

"Daripada situ sampai hari ini masih melajang. Makanya, lo cari jodoh juga, dong. Biar tahu rasanya." Audie terkekeh pelan. "Udah dulu ya, gue masih banyak kerjaan, nih. Ingat, jangan sampai lo nyakitin Tara. Gue benaran bisa dihajar sama Celine."

"Tenang. Gue nggak sejahat itu, Bro," janji Ravel secara tak langsung sebelum menyudahi pembicaraan. Setelah itu telepon diputus, Ravel tersenyum lebar dan tertawa di dalam ruangan kantornya. Tidak lama lagi, semuanya akan terwujud. Dia akan membuat Tara seutuhnya menjadi milik seorang Ravelino. Lihatlah, Tara memang memberikan efek dahsyat bagi Ravel. Bagaimana bisa suasana hatinya berubah secepat itu karena sebuah nama?

Tara Renata.

***

Guys, voment dan follow author ya. Trims.

Bad Boy in Black TuxedoWhere stories live. Discover now