BAB 3 - Revisi

93.5K 4.2K 36
                                    

BAB TIGA

         "Gimana kepala lo? Pusing, nggak?" tanya Ravel spontan begitu Tara tersadar keesokan paginya.

Sayup-sayup wanita itu membuka matanya, mengerang. Tangannya memegangi keningnya yang diolesi semacam krim khusus memar dan luka. Kemudian meringis kesakitan.

"Cewek kayak lo bisanya cuma teriak-teriak dan ngerepotin orang aja, ya?"

"Gue di mana?! Ini kamar laki-laki, gue di mana sebenarnya?" Belum menyadari situasi, Tara malah balik bertanya dengan suara parau. Dia memicingkan mata untuk menyesuaikan retinanya karena sinar matahari yang memaksa masuk melalui jendela kamar. Setelah nyawanya terkumpul penuh, wanita itu langsung melompat dari ranjang, panik seperti kebakaran jenggot dan seketika rasa nyeri di keningnya mendera begitu saja. "Sumpah! Gue di mana?! Gila... gila. Gue nggak diapa-apain, 'kan? Sumpah, gue masih suci! Lagian kok gue bisa sampai pingsan, sih?!"

"Lo haus?" tanya Ravel tanpa menggubris kehebohan Tara sedikit pun. Udah jelas di apartemen gue, masih nanya lagi, dasar. Kenapa orang-orang suka bertanya akan hal yang sebenarnya mereka sendiri udah tahu jawabannya, sih? Mereka iseng, bodoh, atau apa?

"Gue di mana? Jawab pertanyaan gue dulu, dong! Gue nggak diperkosa, 'kan?! Please, please, jangan sampai lo bilang iya. Terus lo itu siapa, sih? Mau lo apaan coba sampai pakai acara nyulik-nyulik begini? Lo psikopat? Introver? Stalker? Terus kok gue nggak ingat apa-apa? Gue pingsan, 'kan?" Tara paniknya bukan main. Dipikirnya tadi pria itu hanya bercanda akan membawanya ke apartemen. Tapi sekarang...

Siapa coba yang tidak panik?

Dibawa pergi oleh pria menyebalkan, dan tiba-tiba terbangun di tempat yang tidak diketahuinya!

Bagaimana kalau Tara sampai disentuh-sentuh?

Ih, amit-amit! Bisa-bisa tiap hari Tara mandi bunga tujuh rupa!

"Lo—"

"Ssttt... Shut up," sergah Ravel. "Lo di apartemen gue! Tenang aja. Gue nggak bakal bunuh lo, jadi nggak perlu sampai sepanik itu."

"Kenapa gue mendadak bisa pingsan?"

"Kita nabrak tiang listrik, kayak Papa Setnov. Puas lo?"

"Dasar, manusia stres."

"Lagian aneh-aneh aja lo, cuma gara-gara kebentur dasbor langsung pingsan," ujar Ravel sebelum berdiri dan keluar dari kamar.

Dia berjalan ke dapur untuk mengambil segelas air putih. Dibiarkannya Tara yang panik itu di dalam kamar sambil mengumpatinya dengan segala sumpah serapah. Dalam hati, Ravel takjub pada Tara yang sanggup menolak pesonanya. Seharusnya perempuan itu bersyukur mempunyai kesempatan untuk tidur di ranjang Ravel, yang hanya bisa ditempati oleh wanita terpilih.

"Silakan, Non. Diminum dulu biar lo bisa tenang, jangan kayak kebakaran jenggot gitu, dong," imbuh Ravel begitu dia kembali ke dalam kamar. Disodorkannya segelas air putih hangat pada wanita yang tengah berbaring di atas kasur berukuran king size itu.

"Lo pikir gue apaan? Nona-nona segala. Risih deh gue dipanggil begitu. Tolong ya, gue nggak kenal sama lo," balas Tara memasang wajah masam namun tetap menerima sodoran gelas dari Ravel, setelah lebih dulu bersandar di punggung kasur.

"Mulai hari ini, lo harus tinggal di sini," tegas Ravel tiba-tiba.

Tara nyaris saja menyemburkan air yang ada di dalam mulutnya ke wajah Ravel, kalau saja pria itu tidak segera menutup mulutnya dan membuatnya menelan kembali air tersebut. Dengan cekatan Tara langsung meletakkan gelas di atas nakas dan terbatuk-batuk.

"HAH? Lo udah gila? Sakit jiwa lo? Dengar, ya, persetan sama muka lo yang ganteng! Gue punya rumah sendiri dan pekerjaan. Toko baju gue entar siapa yang ngurus? Buat apa emangnya gue harus tinggal di rumah lo? Sumpah, nggak penting banget."

"Lo harus tinggal sama gue, titik! Tenang aja, lo nggak akan tidur sama gue, lo tidur di kamar tamu," Ravel mengultimatum. "Gue nggak mau tahu apa pun alasan lo, yang jelas, lo nggak akan bisa kabur dari tempat ini."

"Lo pasti udah gila, cowok sinting."

"Jangan panggil gue cowok sinting. Gue punya nama, tau," balas Ravel kemudian bersiap mengucapkan namanya dengan lantang—bahkan membusungkan dadanya—seakan-akan namanya sekelas artis papan atas, "Ravelino Harris."

Sejenak Tara memutar kedua bola matanya. Meh! "Oke, Tuan Ravel atau Tuan Lino. Ck! Terserah panggilan lo apaan, gue nggak peduli. Tapi... bisa nggak, kita bicarain semua ini baik-baik?"

"For sure, Sweetie."

"Sweetie gundulmu," maki Tara manyun, tidak nyaman dengan panggilan sayang yang sok manis begitu. "Pokoknya pulangin gue ke rumah!!! Gue nggak mau tahu gimana caranya! Jangan sampai gue beneran terjun bebas!"

"Kan gue udah bilang kalau lo harus tinggal di sini. Gue nggak menerima penolakan."

"Eh, setan, udah gue bilang berkali-kali sampai mulut gue berbusa. GUE NGGAK MAU TINGGAL DI APARTEMEN INI, TITIK!" Kali ini giliran Tara yang menegaskan, dia memelototi Ravel yang tampan bak Dewa Yunani. "Lo pasti udah tahu alasannya, gue sama sekali nggak kenal sama lo. Bisa aja lo mau ngejual gue kayak kasus-kasus yang lagi trending sekarang."

"Dulu lo kenal gue. Jadi jangan pura-pura bodoh."

"Kenal gundulmu! Gue baru hari ini ngelihat lo, jadi please, nggak usah SKSD."

"Hmm, ya udah. Terus gimana kalau misalnya gue nggak mau ngelepasin lo? Lo mau apain gue?"

"Lo nggak punya hak apa-apa untuk menahan gue di sini, Ravel. Lepasin atau gue teriak sekencang-kencangnya," ancam Tara yang malah dibalas dengan tawa meremehkan.

"Teriak aja sesuka dan semau lo. Toh, nggak akan ada orang yang dengar dan nolongin," balas Ravel enteng. Sekeras dan sesemangat apa pun Tara berteriak, tidak ada gunanya. Ruangan ini kedap suara, jadi siapa yang akan mendengar? Malangnya nasibmu, Tara.

"Lo!" Tara melayangkan pukulan bertubi-tubinya ke dada bidang Ravel sambil mengucapkan banyak serapahan.

Rahang Ravel mengeras, dia hampir kehilangan kesabarannya menghadapi Tara yang cerewet dan—oh, sungguh—menyebalkan. Mendadak saja, Ravel mendorong tubuh wanita itu hingga berbaring di atas kasur dan menekan bahunya agak kuat. Kini Ravel berada di atas Tara, hendak membuat wanita itu terdiam. Namun, bukannya bungkam, Tara malah berteriak semakin kencang, menjambak rambutnya, bahkan hampir menendang adik kecil—sumber kehidupan—milik Ravel. Spontan Ravel menghindar dan cepat-cepat membekap mulut Tara sampai wanita itu letih berteriak lalu memutuskan untuk berhenti.

"Udah bisa diam? Sumpah... lo hiperaktif, yah?" tanya Ravel, napasnya naik-turun karena adik kecilnya nyaris tersakiti.

Dia sudah nyaris kehilangan kesabarannya karena semua tingkah Tara. Mulai dari awal, tidak ada kata-kata manis yang keluar dari bibir wanita itu, semuanya hanya berupa caci-maki. Membuat Ravel sejenak ragu apakah benar wanita ini yang dicarinya sekian lama. Katakanlah Ravel gila, dia bisa saja langsung "menyerang" Tara kapan pun. Tetapi, dia masih menghargai wanita yang sangat berisik ini.

"Please, lo diam dulu. Jangan sampai beneran gue serang," ancam Ravel dengan nada merendah. Dia menatap Tara sangar, membuatnya menjadi patuh sekaligus diam-diam tunduk di bawah pesona Ravel.

Tara mengangguk perlahan sambil menelan ludah. Diam-diam berdoa dalam hati agar Ravel tidak berbuat sesuatu yang berada di luar kendali. Meskipun kelihatannya Tara adalah wanita nakal yang suka pergi ke kelab malam, dia masih sepenuhnya suci. Dan untuk meluruskan semuanya—Tara tidak nakal, dia hanya pergi ke kelab malam untuk menemani Celine yang mengocehi ketidakpekaan Audie sepanjang waktu.

"Bagus kalau lo udah bisa diam. Jadi kepala gue nggak akan sakit lagi. Suara lo itu menggelegar membelah angkasa," ucap Ravel hiperbolis, dia bangkit dan meninggalkan Tara yang termangu di dalam kamar.

Gadis itu mengembuskan napasnya perlahan, bingung sekaligus berdebar. Bagaimanapun, dia harus kabur dari apartemen sialan ini, segera.

***

Hargai kerja keras author dengan ngefollow akun saya, yah. Hehe, tidak perlu biaya. Cukup follow dan voment saja, terima kasih.

Bad Boy in Black TuxedoWhere stories live. Discover now