BAB 5 - Revisi

84.1K 3.3K 45
                                    

TIDAK banyak kegiatan yang Tara lakukan begitu Ravel pergi. Dia langsung membersihkan diri setelah seorang kurir berjaket hijau memberi dua buah kantong belanjaan berisi beberapa helai pakaian dan keperluan lainnya pada Ravel.

Selesai mandi, Tara duduk santai di ruang tengah sambil menonton televisi dan menikmati semangkuk es krim matcha. Hanya disogok dengan makanan saja, Tara bisa betah di tempat asing tersebut. Ya ... kenyataanya memang apartemen itu tergolong nyaman, sih.

Dan, oh, wanita itu bahkan melupakan sesuatu.

Tara mengacak-acak rambutnya dan hampir menggulingkan wadah es krimnya di atas meja, dia seperti wanita yang mengalami masalah kejiwaan—biasanya disebut dengan depresi atau mental disorder. Sebentar nyengir, sebentar lagi stres sendiri.

Ah, gila aja kalau sampai gue depresi. Amit-amit!

Nyaris saja dia melupakan sesuatu yang jauh lebih penting daripada berleha-leha. Bagaimanapun, Tara sedang terjebak di dalam apartemen seorang pria—tampan—yang lebih pantas disebut pyscho. Dia tidak mau menghabiskan sepanjang hidupnya terkurung di tempat ini—sebab Tara kurang yakin kalau Ravel akan melepasnya. Maka dari itu, dia harus mencari cara untuk kabur.

Wanita berwajah tirus itu tiba-tiba teringat bahwa dia sempat melihat beberapa kunci yang tersimpan di dalam freezer.

Ravel udah gila kali, yah? Nyimpan kunci kok di dalam kulkas? Emang benaran psikopat, nih.

Hanya dengan memikirkannya saja sudah membuat Tara ketakutan.

Gue nggak akan dijual, 'kan? Gue bakal baik-baik aja, 'kan? Jangan-jangan gue mau diawetin jadi manusia lilin. Gimana kalau dia benaran psikopat? Astaga, gue takut. Pokoknya, setelah gue berhasil lolos dari tempat ini, gue cuma perlu berhentiin taksi atau angkot, terus balik ke rumah.

Oh, gue harus menuntut dia ke pengadilan! Nggak ada yang perlu lo takutin, Tara! Lo baik-baik aja sekarang.

Tara berlari kencang ke arah dapur, kemudian dengan tergesa-gesa membuka pintu kulkas bagian teratas. Diambilnya kunci yang berada dalam freezer itu dan lanjut berlari menuju pintu keluar apartemen sialan itu. Jantung Tara berdegup kencang, menandakan bahwa dia sedang ketakutan. Tara memang pengecut, selama ini dia hanya anak manja yang selalu berlindung di balik tubuh Celine, menjadikan wanita itu sebagai tameng pertahanannya. Kini, saat tidak ada Celine di sisinya, dia merasa kebingungan dan tidak dapat meminta bantuan siapa-siapa.

Tara harus mempercayai dirinya sendiri, dia tidak bisa selalu bergantung kepada orang lain yang bisa pergi kapan saja.

Dimasukkannya kunci tersebut untuk membuka pintu, meskipun sulit, dia terus memaksa hingga tiba-tiba kunci itu patah. Tara melongo, lalu menelan ludahnya akibat rasa panik yang mendera.

Tamat riwayat gue, habis ini gue pasti bakal dieksekusi Ravel. Sumpah, somebody help me, gue masih pengen hidup, batin Tara saat tubuhnya pelan-pelan merosot di balik pintu. Dia memeluk kedua lututnya dan membenamkan wajahnya di antara keduanya. Perasaannya gundah gulana.

Hanya satu yang Tara inginkan sekarang—dan itu sudah pasti, pulang.

***

Samar-samar seseorang menepuk pipi Tara lembut sambil membisikkan sesuatu di telinganya. Tara merasa tubuhnya diangkat oleh sepasang tangan kokoh dan dibaringkan di atas sofa hitam panjang, masih terdengar suara kasak-kusuk dari televisi yang menyala.

Hari sudah larut malam ketika Ravel akhirnya pulang dari kantornya. Dia kaget melihat Tara yang terlelap di balik pintu. Namun setelah Ravel perhatikan lagi, rupanya Tara berniat untuk kabur. Lihat saja kondisi pintu apartemennya, kuncinya patah di dalam—karena ukurannya memang tidak sesuai.

Bad Boy in Black TuxedoWhere stories live. Discover now