BAB 10 - Revisi

56.2K 2.7K 113
                                    

Ugh... sebal sekali rasanya. Bolehkah Tara langsung menikah saja? Supaya dia tidak perlu "nyemak" di rumah ini? Seperti kata ibunya—yang sudah kedaluwarsa, membuat Tara menjadi kenyang hanya dengan mendengarnya.

Papa, Tara kangen banget. Coba aja Papa ada di sini, setidaknya masih ada yang benar-benar sayang sama Tara.

Sedih, kesepian, hampa, kosong. Perasaan itulah yang Tara rasakan setelah Papa pergi. Tidak ada lagi yang menungguinya di depan teras rumah saat pulang. Tidak ada lagi yang mengkhawatirkannya saat pulang larut malam. Tidak ada lagi yang memberikan Tara bahu untuk bersandar. Tidak ada lagi yang menghibur dan menjadi tempat curhatnya. Semuanya telah tiada, meninggalkannya seorang diri, menderita.

Tara memegang dadanya kuat.

Hanya pilu yang terasa.

"Papa, Tara kangen banget sama Papa." Tara mulai terisak, dia membenamkan wajahnya ke dalam bantal, menahan suaranya agar tidak terdengar oleh siapapun. Dia merasa begitu kesepian. Kini tidak ada seorang pun yang menyayanginya. Tara bisa apa? Siapa yang dapat dia salahkan atas kecelakaan yang menimpa Papa beberapa tahun silam? Tidak ada. Bahkan kasusnya saja tidak jelas.

Tiba-tiba, pintu kamar Tara terbuka dan seseorang melangkah masuk ke dalam ruangan.

"Keluar, Ravel. Tinggalin gue sendiri," perintah Tara saat menoleh dan mendapati sesosok tubuh jangkung berdiri di dekat ranjang. Wanita itu merasa malu dan cepat-cepat menyembunyikan wajahnya, tidak peduli akan dandanannya yang luntur hingga mengotori bantal.

Ravel tahu wanita itu sedang menangis. Dia bukannya tidak tahu betapa palsunya Risma ketika mengatakan Tara adalah anak kesayangannya dan berharap Ravel dapat menikah dengannya.

Ravel duduk di tepi ranjang, tidak bersuara. Hanya duduk diam dan tenggelam dalam pikirannya sendiri. Banyak hal yang ingin dia tanyakan pada Tara, namun dia tidak bisa. Cukup, Tara sudah cukup menderita. Tapi, Ravel juga sama menderitanya. Ravel bingung, seakan-akan sisi iblis dan malaikat sedang berdebat di samping kiri dan kanannya. Ravel menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan, matanya berkaca-kaca.

Terkadang memang akan ada sesuatu yang tidak dapat dijelaskan oleh kata, akan tetapi dapat dirasakan oleh hati.

Diam-diam, Tara mencuri pandang ke arah Ravel. Entah mengapa ada sedikit rasa penasaran ketika melihat Ravel. Entahlah, pria itu tampak sama menderitanya dengan Tara. Wanita itu yakin seratus persen kalau Ravel menyembunyikan perasaannya?

"Udah puas lo curi-curi pandangnya?" tiba-tiba Ravel bertanya. Tubuh atletisnya membelakangi Tara, membuat Tara tidak dapat melihat ekspresi wajahnya. "Jangan kelamaan, nanti jatuh cinta."

"Siapa juga yang mau curi-curi pandang. Pede banget," tukas Tara. Dia membenarkan posisi tubuhnya dan bersandar di kepala ranjang. Matanya sembab, ditambah hidungnya merah. Semua itu diperlengkap lagi dengan make up yang luntur.

Entah terlihat seperti apa wajah Tara, semoga saja Ravel tidak ilfeel dan langsung jijik padanya. Entah aura apa yang ada di dalam kamar Tara, yang jelas mereka berdua kini tidak berkutik sama sekali. Keduanya saling pandang, tatapan yang sulit dijelaskan namun memiliki makna tersendiri. Hingga akhirnya Ravel menyerah. Tanpa aba-aba, dia langsung memeluk tubuh wanita itu erat. Tidak peduli dengan bisingnya suara pemberontakan wanita itu.

Untuk pertama kalinya Ravel merasa semua perasaan di hatinya bercampur aduk menjadi satu. Dan untuk yang terakhir kalinya, dia berjanji akan menjaga wanita rapuh ini dengan setulus hati.

***

Bad Boy in Black TuxedoWo Geschichten leben. Entdecke jetzt