BAB 12 - Revisi

42.1K 2.1K 50
                                    

"Hmm... jadi, setelah bertahun-tahun kita nggak ketemu, gimana kabar lo?" tanya Brandon sebelum melahap sandwich-nya.

Mereka memutuskan untuk mampir ke salah satu kafe apik di kawasan Kemang, daerah yang sewaktu dulu selalu dikunjungi oleh Brandon dan Tara karena menyimpan kenangan tersendiri. Kafe yang ramai pengunjung ini menyediakan breakfast ala-ala western setiap harinya. Tak heran jika kebanyakan pelanggannya adalah bule. Suasananya juga sedemikian rupa didesain seperti New York street café, mengingatkan Tara pada film "The Vow", dimana Paige dan Leo melewati sarapan pagi mereka dengan canda tawa.

"Kabar gue baik. Lo sendiri gimana?"

"Gue?"

"Iya, kabar lo. Emangnya siapa lagi?"

"Yah... lumayan baik. Cuma sampai sekarang masih single," papar Brandon dengan tawanya yang khas, menampilkan lesung pipinya yang begitu memesona.

Tawa yang dulu pernah membuat Tara luluh hingga memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya. Hanya saja perasaan itu tidak bertahan lama, karena keduanya lost contact begitu Brandon memutuskan untuk melanjutkan program sertifikasinya di luar negeri. Dan seiring dengan berjalannya waktu, Tara mulai melupakan Brandon. Akan tetapi, setelah sekian tahun berlalu, kenapa mereka kembali dipertemukan? Takdir memang membingungkan.

"Bercanda lo. Nggak mungkin cowok secakep lo belum punya pacar. Lo itu ganteng, penuh pesona, idolanya cewek-cewek," balas Tara tak percaya. Mustahil kalau pria seperti Brandon masih berstatus lajang sampai hari ini. Dia itu pacar idaman banget. Lihat saja kulit putihnya, lesung pipi yang dalam, tubuh atletis, bahkan pintar meluluhkan hati wanita pula! Siapa yang bisa menolak?

"Wow," Brandon agak takjub dengan pernyataan Tara barusan. "Apa gue terlihat semenarik itu di mata lo?"

"What?" Kening Tara berkerut mendengar pertanyaan pria di hadapannya. "Maksud gue, tadi itu pandangan umum cewek kalau lihat lo," ralatnya kemudian.

Brandon mendadak meraih tangan Tara lalu mengecupnya singkat, otomatis membuat gadis itu terperanjat. Ada sebuah sensasi aneh yang tiba-tiba saja menjalar di tubuhnya.

"Terus, dalam pandangan pribadi lo, gue gimana?"

"Bi-biasa aja." Tara nyaris menampar mulutnya sendiri yang mendadak gagap.

"Are you sure?"

Tara menelan ludahnya. "Lo ternyata nggak berubah, ya?"

"Nggak berubah?" tanya Brandon dengan alis terangkat.

"Masih sama player-nya," jawab Tara tanpa basa-basi. Dia mencoba untuk meyakinkan perasaannya sendiri.

Gue udah nggak suka sama Brandon, gue nggak boleh senaif dulu, Brandon bisa aja khianatin gue untuk yang kedua kalinya. Lagian itu semua cuma cinta monyet.

"Gue nggak mau kejadian yang dulu terulang lagi, lo udah mainin perasaan gue seenaknya. Harusnya sekarang gue marah sama lo." Tara menjauhkan tangannya dari Brandon, raut wajahnya berubah datar. "Keadaan kayak gini bikin gue ingat lagi sama kesalahan lo."

Brandon menarik tangannya dari atas meja. "Sorry. Gue ngaku kalau gue emang salah. But, come on. Itu udah lama banget dan harusnya lo nggak perlu sampai sebegitu sensinya."

"What? Lo bilang gue sensi? Gimana perasaan lo kalau ada di posisi gue? Katanya lo sayang, katanya gue satu-satunya, katanya mau berhenti jadi player. Tapi lo malah tidur sama cewek lain di depan mata gue. Lo emang keterlaluan banget," murka Tara yang kembali mengingat masa lalu pahitnya itu. "Gue tahu mungkin lo cuma anggap gue sepupu jauh. Tapi, bukan berarti lo bisa nyakitin gue seenaknya, Don. Perasaan nggak sebercanda itu."

"I know, I was a jerk"

"Lo masih jerk di mata gue. Udah deh, nggak penting. Gue jadi ngerasa canggung. Anggap aja kita cuma sepupu jauh yang ketemu lagi dan lo nolongin gue dari cowok-cowok ganjen. Tapi, gue nggak mau berhubungan sama lo lagi. Bersikap baik ke lo, bukan berarti gue masih suka."

"Oke-oke, sekali lagi gue minta maaf. Tapi izinin gue untuk memperbaiki semuanya."

"Nggak ada yang perlu diperbaiki, dan gue udah maafin lo. Jadi, lebih baik kita setop pembicaraan tentang itu." Tara tiba-tiba saja merasa tidak nyaman dengan pembicaraan mereka. Dia berpikir keras untuk mengalihkan topik di sela-sela kecanggungan yang ada. "Mobil gue di mana?"

Menghela napas kecewa, Brandon lantas menjawab, "Lo semalam bawa mobil? Gue kira lo diantar atau pergi bareng teman."

"Bisa tolong anterin gue ke sana?"

"Ke mana?"

"Kelab."

"Ngambil mobil lo?"

Tara mengangguk sebagai jawaban.

"Sekarang banget?"

"Iya. Sekarang," tegas Tara sudah tidak sabaran, dia ingin segera melangkah keluar dari kafe ini. Bukan sebab kafenya yang tidak nyaman, melainkan karena Brandon seperti sengaja ingin mengungkit kembali masa lalu yang pernah terjadi di antara mereka.

"Nggak mau duduk dulu? Ngopi, mungkin?" tawar Brandon.

"No, thanks. Gue harus ngurus butik hari ini. Thanks untuk bajunya. Gue kembaliin setelah gue laundry."

"Nggak usah, Ra. Nanti gue ganti yang baru buat tetangga gue."

Tara tidak menjawab, dia terus-terusan melirik arlojinya.

"Ayo, gue antar," kata Brandon mengalah, melihat gerak-gerik Tara membuatnya cukup paham bahwa wanita itu tidak ingin berlama-lama dengannya.

Akhirnya! Tara berteriak dalam hati. Entah berapa lama Brandon akan menahannya di tempat ini. Syukurlah pria itu menyerah juga, karena Tara sungguh tidak tahan berlama-lama di dekat Brandon. Tidak ada kesempatan kedua untuk pria yang pernah menghancurkan hatinya hingga berkeping-keping. Di saat Tara sudah sepenuhnya percaya, dia malah hanya dijadikan pelarian. C'mon girls, jangan mudah luluh dan diperdaya dengan pria yang tega mematahkan hatimu. Dengan mudahnya dia menghancurkan, kemudian tiba-tiba mencoba untuk kembali memungutnya, dan memasangnya menjadi suatu pecahan yang utuh. Apakah semudah itu?

"Clutch gue di mana?"

"Di rumah gue."

Tara membuang napas perlahan, mencoba menyabarkan diri. "Ambil clutch ke apartemen lo dulu berarti. Gue buru-buru banget, nih!"

"Keep calm, Ra, lo kok mendadak jadi aneh gitu, sih? Nggak nyaman deket-deket gue?"

"No, no. I'm fine. Shall we go now?" tanya Tara tak sabaran, tidak peduli dengan Brandon yang mengatainya aneh.

"Sure," kata Brandon mengakhiri obrolan. "Kita balik ke apartemen."

Mereka berjalan keluar dari kafe, meninggalkan tempat yang membuat napas Tara seperti tercekat selama beberapa saat. Tara merinding sendiri, ngeri dengan perlakuan Brandon yang menjijikkan itu. Bukan siapa-siapa gue lagi, ngapain main cium-cium tangan? There's no more space for Brandon. Dia tidak akan membiarkan Brandon mencari cela untuk kembali masuk dalam hidupnya.

Pria itu pasti hendak menghancurkannya.

***

Bad Boy in Black TuxedoWhere stories live. Discover now