BAB 9 - Revisi

66.6K 2.6K 16
                                    

KETIKA akhirnya mereka tiba di kediaman Tara yang terletak di kawasan perumahan elite, Pak Tarjo—sekuriti di rumah Tara—segera membuka pintu pagar dan mempersilakan Ravel memarkir mobil di samping pekarangan rumah Tara yang luas. Menurut penglihatan Ravel, rumah ini tidak jauh berbeda dengan white house. Hanya saja dalam versi yang lebih kecil dan sederhana.

Lihat saja dua pilar kokoh dan tinggi yang berbentuk persegi, bahkan di sisi kiri dan kanannya terdapat dua patung wanita Yunani. Sebelah kiri menjinjing sebuah keranjang yang berisi anggur, sementara sebelah kanan tampak memikul padi.

Pria itu menjadi penasaran dengan penampakan dalam rumah Tara, hingga rasanya dia ingin bermain tebak-tebakan saja. Walaupun itu tidak penting.

Oke, lupakan.

"Ayo turun," ajak Ravel yang turun lebih dulu dari mobil.

Tara dengan semangat 45, segera berlari menuju pintu utama. Dia sangat tidak sabar untuk melaporkan perbuatan Ravel yang menculiknya pada sang nyokap. Biarlah ibunya tidak peduli, yang penting beliau tahu kalau anaknya ini diculik dan bukan melarikan diri seperti yang mungkin dipikirkannya.

Tara masuk ke ruang tamu tanpa melepas sepatunya, dia berteriak, "MA! AKU DICUL—hmpph..."

Ravel yang refleks, cepat-cepat membekap mulut Tara dan mengunci gerakannya. Untuk apa Tara berteriak? Memangnya selama Tara tinggal di rumah Ravel dia diperlakukan dengan tidak baik?

"Biarin gue yang ngurus semuanya. Lo nggak perlu sampai teriak-teriak," bisik Ravel pada telinga Tara. "Gue bisa aja nyulik lo lagi kalau sampai lo berani berbuat macam-macam. Mau lo?"

Tara menggeleng cepat, membuat Ravel melepas bekapan tangannya pada mulut Tara. "Gue nggak mau diculik sama lo, monyet."

"Dengar, gue cuma minta lo jangan bicara aneh-aneh di depan Tante Risma. Apalagi kalau sampai ngadu lo diculik," peringat Ravel, menatap wajah Tara serius.

"Eh, lo tahu nama nyokap gue dari mana?"

"Bukan urusan lo."

"Itu urusan gue. She's my mom."

"Udah gue bilang, bukan urusan lo."

"Fine! Dasar manusia pelit," gerutu Tara sebal. "Orang pelit itu kuburannya sempit, loh."

"I don't care, Tara."

Tidak lama kemudian, seorang wanita paruh baya yang berbusana seperti wanita dua puluh tahunan dengan dress batik ketatnya, berjalan tergopoh-gopoh ke arah mereka dan menyambut Ravel dengan antusias. Saking antusiasnya, putri bungsunya yang hilang dua minggu sampai diabaikan.

Mama, you're amazayn. Eh, maksud Tara amazing.

"Hai, Tante Risma. Udah lama enggak ketemu. Tante makin cantik aja," sapa Ravel dengan nada lembut dan ramah, dia bahkan membungkukkan badannya sebagai tanda hormat pada Risma.

PENCITRAAN MAKSIMAL, TUH! pekik Tara dalam hati.

"Ah, iya, Tante baru aja pulang dari arisan. Ravel sekarang udah besar dan makin ganteng, yah. Kamu apa kabar, Nak? Ayo duduk dulu, Tante udah nungguin dari tadi, loh," sambut Risma sembari menuntun Ravel ke ruang keluarga yang bernuansa biru-putih dengan lekukan tangga yang menjadi latar belakang ruangannya.

Di area bawah tangga, terdapat sebuah piano yang kini menjadi pajangan saja karena Rachel jarang di rumah dan hanya dia yang dapat memainkannya. Kalau Tara mah boro-boro lihai bermain musik, bisa mengenali nama alat-alat musik saja sudah syukur.

"Tunggu dulu, ya, Nak Ravel. Tante mau ke dapur sebentar. Kamu duduk aja dulu," ujar Risma lantas segera berlalu ke dapur, menyisakan Tara dan Ravel yang duduk berdampingan di sofa empuk berwarna putih.

"Lo nyebelin," celutuk Tara tiba-tiba. Rasanya dia ingin berteriak sekencang-kencangnya, tapi apa boleh buat. Ujung-ujungnya nanti saat Ravel pulang, Risma malah mengocehinya dan membanding-bandingkannya dengan Rachel. Jujur, Tara sangat muak dibanding-bandingkan dengan orang lain. Tara ya Tara, dia harus menjadi dirinya sendiri tanpa harus takut dengan apa yang orang-orang katakan.

"Kenapa nyebelin?" tanya Ravel, mengernyit.

"Lo sama Mama ada hubungan apa?"

"Not your business. Yang penting gue udah pulangin lo ke rumah. Cuma itu kan yang lo mau?"

Tara tidak menjawab, memilih diam dan berdebat dengan pikirannya sendiri. Kenapa semuanya jadi makin rumit, sih? Ravel dan Mama seakan-akan udah lama saling kenal. Keberadaan gue sebagai putrinya malah kayak angin lewat. Coba aja kalau Papa masih ada, pasti Papa bisa nyelamatin gue dari keadaan gini.

Entah kenapa memikirkan Papa yang telah tiada membuat Tara menjadi sedih dan tidak mood.

"Aku naik dulu deh, Rav. Nggak mood. Kamu ngobrol berdua aja sama Mama." Tara beranjak dari sofa kala ibunya kembali ke ruang tamu dengan nampan yang berisikan dua gelas jus jeruk serta camilan kue-kue kering. Dibiarkannya Ravel dan Risma berbicara di ruang keluarga sementara dirinya menaiki anak tangga untuk masuk ke kamar yang terletak di lantai dua. Tuh kan, bahkan ketika Tara pergi, tidak ada tanda-tanda bahwa Risma memedulikannya.

Selalu aja gitu, dari awal juga yang Mama sayang cuma Rachel, ucap Tara dalam hati. Ini memang sering terjadi, tetapi hati Tara tidak pernah terbiasa. Sesak terasa bergelung di dada. Untuk hari ini saja, dia tidak mau peduli pada hal-hal yang membuatnya sedih. Termasuk pada dua orang yang tengah berbincang di ruang keluarga itu.

Tara masuk ke dalam kamarnya yang penuh dengan boneka-boneka imut dari segala penjuru dunia, hampir semuanya merupakan pemberian dari Rachel. Dia mematut penampilannya di depan cermin, tidak ada senyuman yang menghiasi bibir ranumnya. Tubuh rampingnya terbalut gaun berwarna merah menyala, dan rambutnya dibuat bergelombang. Tara memutar bola matanya dan mendengus kecil. Meskipun hari ini dia terlihat cantik setelah disulap oleh tangan seorang MUA terkenal, tetap saja suasana hatinya tidak secantik paras wajahnya. Dia dongkol dengan Ravel.

Ngapain coba gue didandanin sampai kayak princess gini kalau niatnya cuma mulangin gue ke rumah? Bukannya dibawa jalan-jalan dulu, kek.

Tara memandang langit-langit kamarnya yang penuh dengan tempelan bintang-bintang glow in the dark. Dia membayangkan wajah ayahnya yang telah tiada dan perasaan rindu kembali membuncah di dadanya. Tara ragu, apakah ayahnya tahu apa yang dialaminya setelah beliau meninggalkan dunia untuk selama-lamanya?

Oh Tuhan, tolong kirimkan Papa ke kamar ini. Setidaknya hamba-Mu ini nggak perlu merasa terpojokkan di rumahnya sendiri.

Perlakuan Risma yang semakin pilih kasih bahkan sama sekali tidak memedulikan Tara, membuat Tara rasanya ingin cepat-cepat menikah dan segera keluar dari rumah ini. Padahal seharusnya dia merasa nyaman di sini. Bukannya rumah tempat berlindung? Tetapi, dia malah tertekan setiap kali harus pulang ke rumah.

***

to be continued.

Bad Boy in Black TuxedoOù les histoires vivent. Découvrez maintenant