Antariksa berdiri canggung di depan sebuah pintu apartemen nomor 239 setelah memencet bel. Di tangan kirinya ada tas karton oleh-oleh dari liburannya kemarin. Dua menit tak ada jawaban, Antariksa kembali menekan bel. Mungkin orang di baliknya masih tidur, ngomong-ngomong ini udah jam 9 sih sebenarnya.
Saat akan menekan bel ketiga, pintu sudah terbuka. Mereka berdua berhadapan, canggung. Terlebih Antariksa, yang satunya masih ucek-ucek mata memastikan dia tidak sedang berhalusinasi.
"Ak ... sa?"
Antariksa menjawab kikuk, "Eh ... iya, Lyn. Gue ganggu?"
Alyn. Sukses menitikkan air mata, langsung tepat saat Antariksa selesai bicara. Maju selangkah dan dia langsung menubrukkan diri ke tubuh Antariksa.
"Kamu ... apa kabar?" tanya Alyn di sela air mata yang mengalir tenang.
Antariksa sudah lebih siap kini. Secanggung apapun, dia memang harus ada di posisi ini sekarang. "Baik. Lo ... apa kabar?"
"Buruk. Kenapa ngga kasih kabar selama liburan?"
"Antariksa Zaidan Septario ... jadilah lelaki sejati dengan berkomitmen pada keputusan yang udah lo ambil. Jangan jadi pecundang kaya gue. Kalau gue datang sebelum lo jadian sama Kak Alyn trus apa? An, kalau dia memang butuh ditolong, tolong dia. Gue yakin seiring berjalannya waktu sayang itu pasti tumbuh. Yakin gue kalau rasa itu sebenarnya udah ada ... cuma masih samar. Ajak dia berinteraksi lebih, jadi lo bakal tahu Kak Alyn pantas disayangi atau ngga. Jangan kabur-kaburan setelah lo yang ngajak dia jadian. An ... kembangkan rasa peduli lo jadi rasa sayang."
"Lyn, gue ngga disuruh masuk?" tanya Antariksa akhirnya. Mana mungkin dia bilang saat liburan kemarin jadi ajang pernyataan cinta ke gadis lain. Dipikir-pikir Antariksa ini memang kampret. Tapi dia masih cukup waras melakukan itu, atau ngga cukup waras saking lelahnya dia nunggu bertahun-tahun dan setelah datang kesempatan semuanya udah beda?
Tak tahu lah. Pusing amat dipikirin terus-terusan.
Antariksa akan melaksanakan sabda Amara. Ya, itulah keputusan paling benar ... akhirnya. Gadis baik itu, mendukung dia sepenuhnya dengan Alyn. Kabar hatinya, dan hati Antariksa, biar waktu yang bicara.
Alyn mengurai pelukan, "Ayo masuk. Kamu bawa apa?"
Antariksa melangkahkan kaki ke dalam apartemen Alyn, rapi seperti biasa, dan senyap sejak dahulu kala. "Ada bawa oleh-oleh sama bawa masakan dari Bunda. Lo udah makan?"
Alyn yang sedang di dapur menyiapkan minuman menggeleng. Saat itu, dilihatnya wajah Alyn oleh Antariksa dengan seksama. Cekungan mata yang nampak mengerikan tanda pemiliknya tak tidur berhari-hari.
Antariksa berderap mendekati Alyn dan meletakkan tas karton itu di atas meja. "Lyn, liburan kemaren lo jadi ke rumah Tante?"
Alyn yang mengembalikan jus karton di kulkas mematung. "Ehm ... enggak."
Sudah Antariksa duga.
"Jadi lo ke mana aja?"
Alyn duduk di meja makan dan menggeleng, "Ngga ada ke mana-mana."
Antariksa menghela napas pendek, pandangan matanya lurus menatap mata Alyn dan deraan rasa bersalah itu kembali muncul, ia yakin, Alyn begini karena tak adanya kabar dari dia selama liburan. Setidaknya itu salah satu alasan penting di antara alasan lainnya.
Tanpa dikomando, tangan Antariksa meraih pergelangan tangan Alyn. Alyn yang sadar ingin menarik tangannya tapi ditahan oleh Antariksa. Disibaknya perlahan sweater hijau toska yang dikenakannya. Seperti dugaan Antariksa, bekas melintang self torture dari goresan silet terpampang jelas. Dan semakin disibakkan ke atas, goresan itu semakin terlihat banyak. Di antara goresan itu, yang paling nyata adalah bentuk A tepat berada di dekat nadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Compliantwin
Teen FictionHidup mereka yang sudah dinamis tapi bahagia, tiba-tiba harus terusik karena skandal hubungan orang lain. Ya sudah, mau tak mau hidupnya dinamis dengan cara yang berbeda. Bagaimana kalau dinamis itu, salah satunya adalah karena CINTA? Tapi semua ti...