29 | Perjumpaan Dengan Apa yang Imajiner

43.2K 4.6K 971
                                    

Isinya masih seputar nasehat-nasehat untuk Aurora. Maafkan saya yang nggak kreatif ini sampai harus bikin jadi part khusus dan jadi panjang lebar. Semoga bermanfaat dan maaf kalau ada yang merasa ini membosankan dan terlalu menggurui. Saya nggak ada maksud sama sekali ciyuuuus 😉

***

Meja makan itu terlalu hening. Hanya bunyi denting sendok beradu dengan piring yang seakan menjadi orkestra pagi itu. Serius, lebih sunyi daripada kamar anak kosan yang lagi iseng main jelangkung.

Tidak ada Aurora yang mengoceh dan kadang nasinya muncrat-muncrat. Tidak ada Bunda yang nyubitin atau ngegelitikin (?) pinggang Aurora karena ngegodain Bunda terus-terusan. Tidak ada hela napas dari Antariksa karena frontalnya Aurora. Dan, tidak ada geleng-geleng dari Ayah karena bingung Aurora ini manusia apa Burung Jalak Suren yang hobinya mengoceh.

Lalu, Aurora akan mulai bertanya-tanya sampai kapankah keterdiaman ini akan berlangsung?

Aurora benci saat menyadari bahwa dia adalah penyebab semuanya. Aurora mau sarapannya ramai dan makan malamnya gaduh. Aurora suka rutinitas mereka saat makan bersama.

Suapan terakhir dan Aurora sudah ingin menangis lagi, rasa-rasanya dia harus segera pergi dari meja makan. Diletakannya peralatan makan, "Aku pamit ke kamar ya," katanya entah pada siapa. Aurora biasanya selalu menggunakan obyek saat berbicara, Bun, Yah, An atau Mas.

"Dek, bantuin Bunda beres-beres gudang yuk. Kapan coba itu terakhir di beresin? Kali aja kamu nemu peralatan lagi buat DIY, ya? Masa mau tidur lagi kamu? Nanti Bunda bikinin smoothies strawberry sama pisang goreng."

Aurora mengangguk, "Itu melulu Bun sogokannya."

Grrr... semua yang ada di meja makan menahan tawa. Terlebih Bunda yang tertawa sambil berdecak, "Yang ikhlas kamu biar banyak pahala."

Aurora mencibir, "Kuy lah Bun biar cepat kelar. Aku pengen main ke sungai habis itu."

Bunda lalu bangkit dan bersiap membereskan peralatan makan, "Kuy lah. Bantuin Bunda cuci piring biar cepat."

Aurora cemberut lagi, "Gitu tuh kalau bisnis sama Emak-emak sukanya nambah obyekan nggak ada bonusan." Aurora tetap bangkit sambil mengangkat piring ke dapur.

Aurora sadar betul kalau Bundanya hanya ingin mengajaknya berbicara. Dia ingat kalau gudang mereka baik-baik saja. Maksudnya, sejak terakhir mereka ke sini, gudang itu juga tak luput dari sentuhan Bundanya yang keranjingan beberes. Betul kan yang dibilang Aurora, tidak ada barang berserakan karena semuanya tertutup kain putih meskipun kebanyakan barang bekas. Atap juga tidak bocor.

"Dek ini nih masih banyak buku hard cover punya Ayah pakai aja. Ayah kayaknya udah punya ebooknya. Buat sculpture art lumayan nih." Bunda mulai menyisiri ruangan untuk mengalihkan kecanggungan yang lumayan nampak, "Tuh banyak bookpaper kosong juga bisa kamu pakai buat apa tuh yang berlekuk-lekuk?"

"Accordion book Bun," jawab Aurora sembari mendekat pada Bundanya, lalu dipeluknya tubuh itu dari belakang. "Bunda kaya ketemu sama Benedict Cumberbatch aja sih pakai canggung segala."

Digesek-gesekannya pipi Aurora di kain baju Bundanya yang lembut dan wangi kaya parfum paris, kata salah satu iklan pewangi pakaian. Bunda lalu mengangkup kedua tangan Aurora yang melingkari pinggangnya. Pelan membalikkan tubuh, "Bunda sayang banget sama kamu, Dek. Sayang banget."

CompliantwinWhere stories live. Discover now