24 | Seperti Perasaan Lain, Afeksi Perlu Disalurkan

48.4K 4.6K 1K
                                    

"Jauh-jauh ih lo dari gue...."

"Jangan pasang muka begitu! Sok imut!"

"Yaudah buruan! Ke Gandaria City apa ke IKEA?"

"Ya Allah kenapa gue lemah sama duit Ya Allah."

Amara cuma cekikikan di belakang Aurora yang ngomel-ngomel dari tadi setelah dia keluar dari kelas. Amara sengaja mau 'menyewa jasa' Aurora untuk mendekor ulang kamarnya. Ngga mau nunggu hari Minggu, maunya sekarang. Padahal sudah jam 4 sore. Satu dari sekian taktik Amara untuk 'ada' di saat Aurora sedang sedih atau marah. Dan Amara yakin, semalam tidak berjalan baik antara Aurora dan Antariksa.

Begitu mereka berdua tiba di IKEA, Amara hanya cengengesan waktu ditanya mau dekor ulang kamar dengan konsep apa. Padahal menurut Aurora, kamar Amara baik-baik saja dengan konsep modern shabby chic-nya. Aurora bukannya tidak tahu kalau ini hanya upaya Amara untuk menyibukkan dirinya agar tidak terlalu terpikir masalah kemarin. Ya susah. Untung Amara mau aja bayar banyak. Aurora memang lemah kalau urusan duit!

Akhirnya Aurora menyarankan untuk mengubah konsep dengan eklektik. Design yang kata Aurora abu-abu, karena tidak ada konsep khusus. Tapi juga ngga asal tabrak lari lalu jungkir balik. Tetap menonjolkan estetika. Lagipula kalau dilihat dari rumahnya yang mengikuti de Stijl yaitu aliran arsitektur dari Belanda dan bentuk rumahnya yang ala-ala Rietveld Schröder memang eklektik lebih cocok untuk isi di dalamnya. Secara, konsep de Stijl memang sederhana dan abstrak. Duh, kaya orang bener Aurora ngomongin beginian. Tapi lumayanlah, tahu sedikit dia tentang desain. Begitu-begitu dia juga fans Piet Mondrian pelukis dari negera kincir angin yang jadi salah satu pemrakarsa de Stijl itu.

"Lo mau cat ulang apa yaudah gituin aja kamar lo?" Tanya Aurora yang sedang ada di bagian ambalan.

"Bagusnya gimana?" Tanya Amara balik.

"Ya terserah lo. Itu belakang wallpaper temboknya warna putih kan?" Tanya Aurora lagi dibalas anggukan oleh Amara. "Kalau mau wallpapernya dicopot trus ntar di sudutnya pasang ambalan buat naruh storage biar ngga kosong-kosong banget. Yang ditumpuk di meja pindahin ke ambalan."

"Terserah lo aja. Asal jadinya oke aja."

"Tahu terserah-terserah doang mending lo ngga usah ikut. Ngapain juga, ngga guna," jawab Aurora tanpa melihat ekspresi Amara yang mengayunkan kaki ingin menendang pantatnya.

"Ya kan gue percaya selera lo bagus, Rang. Marah-marah mulu sih lo. Jauh jodoh ntar."

"Bawel. Mending beliin gue minum di cafetaria. Haus nih."

"Nggih, Ndoro."

***

Begitu sampai di rumah Amara dan melihat kamarnya, Aurora merasa perlu ada beberapa barang yang disingkirkan terlebih dahulu untuk memudahkan dekorasi seperti meja belajar, sofa, console table dan lemari buku. Dan berpikir cara singkat untuk meringankan beban, Aurora langsung terpikir untuk ngebabuin Arius lagi. Toh, malam ini dia memang berencana untuk menginap di Bogor.

Aurora mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Arius. Dalam nada panggil yang ketiga baru diangkat. "Perasaan gue ngga enak," jawab Arius langsung.

Aurora berdecak. "Taruhan sama gue, lo pasti langsung loncat-loncat kayak monyet-monyetan karet kalau gue bilang ini."

"Gue besok mau ke Bandung, Aurora. Jadi malem ini gue mau tidur."

"Tipikal embah-embah 60 tahun. Lo masih 21 tahun Om, plis deh. Gue lagi di rumah Amara ini, lagi dekor kamarnya. Bisa bantuin keluarin lemari ngga? Ntar gue kasih upah!"

CompliantwinWhere stories live. Discover now