(10) Kepo

42 5 0
                                    

Manusia itu punya rasa penasaran tinggi. Mau tahu urusan orang daripada urusannya sendiri. Dia tidak tahu masalahnya lebih drama ketimbang masalah orang lain.

Seperti aku ini, punya masalah tidak diketahui banyak orang. Berasa mau ketawa saja.

Hidup memang tidak perlu dibuat ribet. Sudah rumit kehidupan, ditambah lagi drama. Mau bagaimana kehidupan ini kalau ujung-ujungnya bawa segala sesuatu memancing kepo? Duh, pasti tidak ada henti-hentinya.

Dulu, aku kepo sejati. Stalker orang-orang pernah berhubungan denganku. Sampai ke dalam-dalamnya. Kata orang, mengerikan. Anggapan orang berbeda-beda. Lebih suka satu sisi. Sedangkan sisi lainnya tidak berani.

Maka dari itulah, adanya face to face. Tatap muka lebih penting. Obrolan lebih menjamin bahkan terpengaruh daripada omongan tidak jelas sampai ngomong kematian seseorang.

Indonesia memiliki peringkat tertinggi dalam urusan penasaran. Suka membahayakan diri sendiri atas masalah bukan urusannya. Maksudnya, ikut diselimuti dosa. Padahal mereka tidak tahu kejadian sebenarnya.

Orang tidak peduli, membiarkan si kepo bicara tentang dirinya. Apa saja. Ngapain koar-koar, tidak ada masalah. Tambah menjadi-jadi si kepo-kepo itu. Karena lebih enak tindakan dan perbuatan. Beda ketika orang peduli lebih berujar.

Bicara itu belum dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan. Meski satu atau dua memilih mengerti, sisanya masih tetap gencar mencari tahu. Malah lebih banyak.

Buat berpikiran luas, kejadian tersebut perlu dituntas habis. Dengan cara, diam dan tidak memberitahu perihal sang korban maupun pelaku. Bagi berpikiran dangkal, kebalikan dari itu semua.

Sama saat ibu-ibu rumpi, bergosip seenak hati. Walaupun diberikan bukti-bukti tersebut, tidak akan menjamin. Karena cuma dialah satu-satunya saksi. Tidak ada empat atau lebih.

Kasihan juga bagi pendengar gosip itu. Belum ada identitas sebenarnya, mau terus meminta dan mengharapkan lebih. Sehingga urusannya sendiri terlupakan. Kasihan ya, orang-orang begitu.

Aku malah lebih enak sendiri. Terjerumus dosa, pahala pernah didapat hilang seketika. Kembali lagi dari nol. Buat apa memelihara kebaikan, pada nyatanya ada keburukan terpendam.

Ada ungkapan dari penulis-penulis di sini, tidak bisa kusebutkan namanya. "Di luar berbeda kenyataan dengan di dalam."

Betapa kasihannya hanya melihat di luarnya tanpa isi dalamnya. Seperti sebungkus permen menggelembung tanpa isi. Hanya menyukai luarnya yang antik. Sebelum memakannya, cari tahu dulu mereknya apa. Tidak bisa berhenti kala itu.

Tahan kekepoan itu. Dari sepersekian persen, kekepoan bisa mematikan. Akibatnya salah paham. Akhirnya merasa bersalah dan malu sendiri. Dan harga dirinya digantung entah ke mana.

Malu dan takut, tidak ada. Malu karena berhubungan citra diri dan harga diri. Takut karena tidak kenal dosa.

Cara menghilangkan kekepoan, tinggalkan keingintahuan. Boleh-boleh saja meminta, tetapi tidak dengan mengumbar aib. Seperti memakan buah simalakama. Di situ juga akan diumbar oleh seseorang entah siapa. Hanya Tuhan yang tahu. Tuhan, Maha Adil.

Kita tidak tahu kapan detak jantung ini berhenti. Peringatan telah terdengar, tetapi menghiraukannya. Tanda-tanda Kiamat sebentar lagi mendekat, tetapi malah mendustainya. Kematian tidak perlu batas usia dan status. Yang dibutuhkan hanya soal waktu.

***

05 April 2016

Batas WaktuWhere stories live. Discover now