(16) Itu Salah Ini Salah

127 3 0
                                    

Menyeramkan rasanya lihat apa yang terjadi sekarang. Hanya gara-gara satu kesalahan saja, akhirnya menyalahkan semuanya.

Sosial media terlihat berbeda. Banyak debat--meski aku malas debat lagi. Nasihat pun nggak diindahkan. Serba-serbi saling komentar dengan prasangka buruk.

Sosial media dulunya have fun. Ajang beropini ria. Berbagi kebahagiaan, cerita, candaan dan foto-foto terindah.

Namun, sosial media menjadi ajang pembenaran. Yang penting tidak balas-membalas komentar dengan cara membenarkan atau menyalahkan. Alasannya, opini mereka sangat berbeda dengan kehendak hati kita di hari kemudian.

Aku jadi korban, soalnya. Sekaligus pelaku, lho.

Terus terang, aku nggak memersalahkan. Tetapi, risih juga. Bukan warga Jakarta, sih. Hanya warga Indonesia harus turut menegakkan Bhineka Tunggal Ika.

Aku nggak menghakimi. Tetapi, nggak berani menjawab ketika aku disalahkan disebabkan nggak marah atas kejadian Gubernur non-aktif itu. Jujur, kalau dilihat-lihat menistakan itu hina.

Dan serius juga, aku suka membawa sumpah di atas dan bawah Al-Qur'an begitupun saat berjanji. Bawa-bawa nama Allah di sumpah dan janji palsu. Nyatanya, aku ingkar juga. Bukannya itu hina, apalagi aku munafik.

Astaga, aku curhat. Yes!

Itu berarti aku sering salah dan sering khilaf. Tetapi, tahulah manusia. Suka salahkan, tetapi nggak tahu betapa berusahanya orang itu untuk memerbaiki diri.

Kelihatan beda di luar. Kelihatan beda di dalam.

Perumpamaan bahwa manusia pernah bersalah.

Jadi, masalah apa pun jangan ikut-ikutan menyalahkan. Tuduh enggak-enggak. Dia layak jadi ini atau itu. Masuk sini atau situ.

Aku bukan Tuhan, sungguh.

Hanya manusia sering kali merasa salah. Salahnya banyak.

Salah berkomentar. Salah bercurhat. Salah menjaga rahasia. Salah berpegang rahasia dan keteguhan hati.

Apalagi mengumumkan pelaku di hadapan publik. Beeh! Ada ya, orang berusia dewasa atau berusia muda, tetapi bikin masalah membuat penasaran orang? Umumkan pelakunya--padahal dia yang bersamalah dengan orang itu malah bawa-bawa orang lain.

Menyakitkan.

Duh, berhak menghakimi padahal aku sebagai orang melihat, nggak tahu masalahnya apa. Beda bila pernah berurusan dengan orang itu.

Ambil saja hikmah dari kejadian itu. Lisan mesti dijaga. Karena beda mulut, beda hati. Ketika berucap, nggak bisa ditarik kembali. Lagi pula status diri adalah orang terkenal.

Jangan tertutupi dengan tampak merasa terkenal. Suatu saat bakalan jatuh juga (untung aku sedikit followers--tetapi waswas juga.)

Jangan bersedih hati bila tahu mengapa kalian terlahir ke dunia. Takdirnya mengapa di Indonesia. Takdirnya berada di agama yang ini. Takdirnya ada di budaya, ras, dan suku ini-itu.

Anggaplah pelajaran.

Salahkan orang nggak akan menyelesaikan masalah. Kalau masih, ada cermin, ada bayangan, ada barang-barang berharga.

Nggak ada yang sempurna di dunia ini.

Sengaja bawa-bawa Tuhan. Dia, Maha Kuasa, melahirkanku lewat dari kandungan Ibu, menuntun lewat doa-doa orangtua, saling menjaga lewat saudara-saudara sekitar, saling memperbaiki lewat permasalahan orang-orang dan bencana, dan lain-lain.

Ada hikmah dari balik peristiwa. Ada hadiah di balik setiap kesabaran. Berbalik jadi adil, nggak memihak siapa salah dan benar.

Semoga jadi orang-orang bijak--bisa menasihati diri sendiri dan orang lain.

***

01 Des 2016

Batas WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang