Prolog

94.1K 5.6K 284
                                    

Andreas memandang takjub pria di hadapannya. Dalam hati ia memuji, Alamak, tampan sekali! Siapa yang akan menolak pria ini? Lihat dia. Lihat betapa sempurnanya dia.

Lelaki yang merupakan bayangan dirinya di cermin itu bukan hanya ganteng, berbadan atletis, wangi, dan berdompet tebal. Dia benar-benar ... sempurna! Seandainya Andreas tidak ingat kalau hari ini ia akan
menikah, barangkali ia akan mengawini dirinya sendiri.

Andreas meraih ponsel di saku jas. Aplikasi pengambil gambar ia tekan, lantas potret lelaki itu muncul di layar. Tidak butuh waktu lama untuknya mendapat angle terbaik, ia berhasil mengakuisisi citra.

Astaga, gantengnya! decak Andreas untuk sekian kali. Kalau foto ini diunggah, ia yakin para gadis akan patah hati dan banyak pria merasa iri. Jangan lupa juga, like and comment pasti bejibun. Para warganet akan berkicau: tampannyaaaaa, atau aduh gakuku ganana lihatnya, atau Ya Allah, kok, Andreas ganteng banget?!

“Mas mempelai pria,” seseorang menegur Andreas, sekaligus menyadarkannya. “Sudah waktunya. Para hadirin sudah menunggu.”

Andreas tersenyum jemawa. “Sebentar lagi, ya.”

Perias alias seseorang yang menegur Andreas berbalik lalu mengelus dada dengan sabar. Duh, kalau bukan karena bayaran dia selangit, sudah kupentrung kepalanya, batinnya geram.

Bukan hanya perias ini yang kesal, semua staff juga merasa demikian. Bagaimana tidak, Andreas sudah berkaca sejak dua jam lalu. Kadang dia tersenyum bangga, kadang juga
bicara sendiri. Yang terakhir, dia malah berswafoto padahal ijab kabul harus dilaksanakan secepatnya.

“Aku keluar dulu ya, Pria Tampan,” kata Andreas pada bayangannya di cermin. “Kita tetapkan hari ini sebagai hari patah hati internasional.”

-bersambung

FilantropiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang