Mantik Tuan Sempurna

18.9K 2.2K 248
                                    

"Laudya Arista, aku mau nikah sama kamu."

Wanita berdaster itu meneguk ludah tak percaya. Padahal baru saja minum, tapi kerongkongannya terasa sangat kering. Jalan pikirnya mendadak buntu, lidah kelu, dan kaki gemetar.

"Bukan cuma kamu yang kaget mengenai lamaran ini, Dya." Ayyash mengelus-elus punggung tangan Laudya. "Aku juga sama."

Laudya masih bungkam. Baru tadi pagi resah soal ayah untuk Rasta. Eh, sekarang ada yang melamar. Apakah ini jawaban Tuhan? Kalau iya, kenapa Laudya malah bingung?

Oke, Ayyash lebih dari sekadar cukup. Malah kemahirannya bisa menjadi bonus. Sebab nanti Laudya tak usah resah soal memasak. Tapi, tidakkah ini terlalu cepat?

Ya Allah, bantu saya, gumamnya saat Ayyash menatap penuh harap. Menunggu jawaban.

Dan ajaib! Doanya langsung direspons saat itu juga. Dari kamar terdengar tangisan Rasta. Oh, terima kasih Ya Allah. Terima kasih. Cepat-cepat Laudya melepas genggaman Ayyash, lalu menghampiri jagoannya.

Rasta terganggu oleh ponsel yang berdering. Ketika Laudya hendak menolak panggilan, deringannya keburu mati. Di sana muncul notifikasi spam pesan yang amat banyak. Tetapi Laudya tak peduli, dan meninggalkan benda pipih tersebut lalu menghampiri Rasta yang masih merengek-rengek.

"Rasta keganggu, ya?" Laudya membelai kepala anaknya. "Maaf, ya."

Perlahan mata bening nan kecil itu mulai ngantuk. Rasta memejamkan mata, lalu tertidur. Tetapi malang, dua detik berikutnya bayi ini terpaksa membuka mata lagi sebab ponsel Laudya berdering.

Ditimang-timangnya Rasta sambil menghampiri ponsel. Pilihan hanya dua. Terima atau tolak. Dan karena sang penelepon masih sama, Laudya akhirnya mengangkat.

"Dya, sekarang aku ngerti!" Tanpa salam dan sapa makhluk di seberang sana memekik buas. Nada tinggi, tidak sabar, dan berkuasa. Siapa lagi kalau bukan orang itu? "Halo?"

"Teleponnya besok saja. Rasta keganggu." Laudya berbisik sambil menoleh ke wajah bayinya. Rasta kembali tenang sedang matanya siap tertutup.

"Nggak! Jangan tutup dulu!" Meski memerintah, Andreas mengganti suara menjadi bisikan. "Ini penting, Dya. Sangat penting."

Laudya tak dapat mendengar kelanjutan Andreas sebab ia menaruh ponsel di atas meja, beberapa meter dari boks sang anak. Ia tak mau Rasta salah posisi lantaran ibunya asyik teleponan. Barulah setelah anaknya berada di posisi wuenak, Laudya meneruskan percakapan. Di luar kamar, tentunya.

"... perekam suaranya."

"Apa?"

"Aktifkan mode rekam dan jangan berisik," kata suara Andreas.

Ayyash yang masih di meja makan ikut penasaran. Ia lantas mendekati Laudya. "Kenapa, Dya?"

"Diam, Tolol! Jangan bersuara!"

Tanpa bertanya pun Ayyash sudah tahu siapa si sengak di seberang sana.

"Tumben lo ke sini? Ada apa?"

Terdengar suara selain Andreas. Untuk memperjelas, Laudya pun membuat audio gawainya bisa didengar Ayyash dan cicak di dinding.

"You know me so well, Zar. Kalau gue datang, berarti Ibu yang nyuruh."

Oh, sekarang Laudya dan Ayyash paham. Suara yang sedang bersama Andreas adalah milik Amzar. Tapi, kenapa Laudya harus tahu?

"Selain itu, gue mau nanya sesuatu sama lo, Zar."

FilantropiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang