Mania dan Depresi

22K 2.6K 176
                                    

Semoga Dion tenang dan semoga Tuhan mengampuni. Aamiin.

Hari ini untuk ketiga kalinya Laudya datang ke kuburan sahabatnya. Meski hanya sebulan sekali, setidaknya ia masih bisa menyambangi.

Bukan tak mau melayat setiap hari, tapi beberapa alasan membuatnya harus menunda rencana. Kehamilannya yang kadang rewel dan kesibukan di kafe. Itu salah duanya. Untuk yang pertama, bukan satu-dua kali kondisinya menurun. Entah itu muntah-muntah, entah memang mood-nya yang kadang cepat berubah. Di usia enam bulan, terkadamg Laudya masih mual di pagi hari.

Adapun alasan kedua, sekarang Laudya memang jauh lebih sibuk. Kafe milik Shofi mulai melebarkan sayap. Banyak sekali pengunjung yang datang, bahkan tak sedikit yang menetapkan diri sebagai pelanggan setia. Dari banyak alasan, mereka bilang pelayanan yang memuaskan dan promo penuh inovasi yang jadi pertimbangan mereka.

Ide yang diberikan Laudya selalu luar biasa. Di bulan pertama, terobosannya berupa satu menu di kafe berarti satu roti gratis dari toko roti. Saat itu pengunjung banyak sekali. Setiap hari menu di kafe pasti ludes. Lalu merambah ke bulan-bulan berikutnya, pendapatan kafe bisa menyaingi toko roti. Mbak Shofi bahkan memekik tak percaya. Harusnya dari dulu ia bertemu Laudya. Ia benar-benar dewi keberuntungan!

"Ayyash, aku sudah selesai." Laudya memanggil lelaki di seberang sana. Ia sedang asyik merokok sambil melamun. Sampai detik ini, si Tubuh Selembar itu belum berubah. Masih memancarkan mata sayu, jarang bicara, dan seperti tak punya emosi.

Begitu Laudya menyeru, ia melemparkan rokok, menginjak sampai apinya padam, dan mendekat.

"Pulang sekarang?" katanya datar. "Kenapa?" sambungnya ketika Laudya malah memandang sambil tersenyum manja.

"Bisa kita makan dulu?" Laudya mengusap-usap perut hamilnya. "Aku lapar."

Ayyash mengiakan tanpa syarat, tapi dalam hati agak merutuk. Di kereta Laudya sudah makan banyak. Eh, sekarang sudah lapar lagi. Betapa rakusnya bayi di perut Laudya! Ck, benar-benar.

*
*
*

"Ayyash bisa masak ini, nggak?" tanya Laudya sambil mengunyah makanannya.

"Bisa."

"Kalau libur, bikinin ya."

Ayyash mengangguk kemudian meneguk jus mangganya. Tadi ia hanya pesan sari buah dan pancake durian. Kudapannya sudah habis dan tinggal tiga teguk lagi jusnya siap berakhir hayat. Beda dengan Laudya. Makanannya masih tersisa. Wanita berbadan dua ini memesan banyak menu. Nasi ayam bakar, martabak keju, puding cokelat, dan jus. Wah!

"Aku bayar dulu, ya." Ayyash beringsut tanpa menunggu jawaban.

Kemudian, Laudya merasakan perutnya ditendang dari dalam. Pasti bayinya kekenyangan. Ia pun mengusap dengan keibuan lalu membereskan barang bawaan. Belum sempat meraih tasnya, lagi-lagi hentakan itu terasa. Lebih kuat. Lebih menganggetkan.

"Kenapa, Sayang?" Laudya membelai tempat semayam anaknya lebih lembut.

Aneh, anaknya masih menendang tanpa henti. Laudya sampai kewalahan. Lantas ia pun mengatur posisi duduk agar lebih nyaman. Agak merebah tapi masih posisi sopan.

"Jadi kalian benar-benar menikah?"

Laudya menoleh ke sumber suara. Astaga! Sekarang Laudya sadar, karena inilah anaknya tak henti menendang. Ia pasti merasa terancam melihat pria gagah di hadapannya.

"Siapa yang kamu maksud?" Tidak ada nada ramah sama sekali. Laudya menunjukkan kebencian, terutama saat Andreas duduk di hadapannya.

"Tentu saja kamu dan selingkuhanmu."

FilantropiWhere stories live. Discover now