Menanti dengan Lapang Dada

22.1K 2.4K 303
                                    

Laudya baru menginjak anak tangga kedua ketika keanehan itu muncul. Ada tangisan yang menggema di seluruh rumah. Suara anak-anak tapi tak mungkin buah hatinya. Terlalu nyaring bagi Rasta, lagi pula anak itu baru ditidurkan beberapa menit yang lalu.

Entah kenapa Laudya merasa tak enak hati. Dadanya agak sesak, nyeri seperti ditusuk-tusuk. Keringat pun mengucur dari pelipis, membuat kepalanya pusing.

Ketika Laudya semakin turun ke lantai satu, barulah ia sadar kalau tangisan tadi berasal dari kamarnya. Ternyata Rasta yang menjerit-jerit begitu.

Rasta?

Naluri keibuan memaksanya bergerak. Dilawannya kaki gemetar dan dada berdenyut demi anaknya itu. Semakin dekat dengan kamar, semakin tak enak perasaannya. Ya Allah, semoga anakku baik-baik saja.

Rasta tidak di lantai, syukurlah. Atap di langit-langit pun tampak utuh. Mungkinkah ia digigit sesuatu? Lekas Laudya memeriksa semuanya secara hati-hati. Sekali lagi naluri keibuan yang membuatnya berani padahal siapa tahu akan ada kalajengking atau ular yang menyelinap ke tempat tidur Rasta.

Tidak ada apa pun. Sungguh. Kaki dan tangan Rasta pun dalam kondisi baik. Tidak terkilir, bengkak, ataupun luka. Hanya popoknya yang basah.

Aneh, kenapa Rasta menangis sehisteris ini? Biasanya kalau popoknya basah, ia hanya merengek. Digendong sebentar pun langsung sesenggukan. Tetapi sekarang, jeritannya mengaum ke seluruh rumah. Matanya banjir air kesedihan. Dan mukanya yang putih mulus tampak merah merana.

Laudya menggendong dan mendekap dengan penuh sayang. "Mama di sini, Sayang. Mama di sini," hiburnya sambil menimang-nimang. Tak terasa air matanya ikut jatuh. Menunjukkan batin lebih tersayat melebihi siapa pun.

Perlahan-lahan Rasta mulai tenang. Hanya sesekali ia merengek. Hanya sedikit timangan untuk menenangkannya.

"Rasta kenapa, hmm?" Laudya berdialog dengan bayi sesenggukan itu. Ia mencium kening dan pipinya lantas kesedihan putranya semakin menguap.

Kemudian pintu kamar diketuk dari luar.

Laudya menimang-nimang lebih semangat lalu berbisik, "Tuh, Papa udah dateng. Biar Papa yang ganti popoknya, ya?"

Pintu kembali diketuk tepat ketika Laudya menghampiri.

"Hai, aku pulang."

Laudya tak langsung menjawab. Entah kenapa ia merasa sangat malu. Tebakannya melenceng. Ternyata bukan Andreas yang datang.

"Rasta habis nangis, ya." Ayyash mengusap-usap pipi gembul sang bayi. "Uh, cup, cup, cup."

Tangan Rasta menggenggam telunjuk Ayyash. Awalnya hanya menjilati, lama-lama ia berusaha menggigit.

"Kamu pasti lapar. Tunggu ya, aku ganti popok dulu," jawab Laudya sambil berjalan ke kasur.

"Dya, Andreas belum datang?" Ayyash bertanya sambil mencandai Rasta yang berubah ke mode riang menggemaskan.

"Belum." Laudya merebahkan Rasta di ranjang lalu melepas popoknya. "Katanya dia bakal datang paling lambat nanti malam."

Ayyash mengangguk. Dihampirinya Rasta yang bergerak aktif ketika pantat dan burungnya dibersihkan. Ia menendang tanpa henti sambil tersenyum jail ala bayi.

"Dya," panggil Ayyash sambil mengusap ubun-ubun Rasta. "Soal pernyataan waktu itu, nggak perlu kamu pikirin dulu." Ayyash memandang Laudya yang berhenti melipat popok. "Aku tahu, kok, fokus kamu sekarang adalah kasus Dion. Makanya, santai saja, ya."

"Makasih atas pengertiannya, Yash."

*
*
*

Malam makin larut, tapi Andreas tak kunjung datang. Laudya yang awalnya tenang menanti bersama Ayyash, lama-lama resah sekaligus kesal. Ia sudah mencoba menghubungi tapi tak ada balasan dari si Tuan Sempurna.

"Sudah malam. Biar aku yang nunggu Andreas," kecap Ayyash ketika melihat Laudya menguap. "Mending kamu temenin Rasta tidur, gih."

Laudya mengangguk, beringsut, kemudian membawa Rasta ke kamar. Seperginya wanita itu, kini tinggalah Ayyash seorang diri. Ia memandang lurus ke arah kamar Laudya, lalu merenung cukup lama.

Apa aku yang terlalu berlagak? pikirnya sambil memegang dada. Aku cuma seonggok korban cabul, ngapain melamar wanita?

Meski tadi sore bilang akan menunggu, tetap saja Ayyash resah. Ia merasa pinangannya dua hari yang lalu tak akan berakhir baik. Mengingat rival yang kini mengintai dengan segala kelengkapan, juga menyaksikan Laudya tak lagi membenci Andreas, semua itu membuatnya makin ragu.

Mungkinkah Laudya memilih aku ketimbang Andreas? pikirnya masygul. Ayyash ingat, kemarin kebersamaan Laudya dan mantan suaminya itu tampak begitu manis. Momen di saat Andreas menimang-nimang Rasta, lalu Laudya mencium pipi anaknya, kemudian tawa hangat menggema di ruangan, semua itu membuat Ayyash tersenyum pahit. Mereka benar-benar cocok! cebiknya kala itu. Sungguh keluarga yang bahagia!

Ayyash mengembus napas berat. Entah kenapa, sekarang ia merasa muak karena memikirkan mereka. Terlebih, di sebelah sini——di dalam dada——ada sesuatu yang terusik. Entah apa namanya, tapi rasanya sangat tak nyaman. Seperti dihunjam sesuatu yang tajam lalu dikorek-korek hingga lukanya semakin terkoyak. Sakit! Perih! Ngilu!

Tak ingin rasa dengki tadi makin menikam hati, Ayyash pun mencoba beralih. Ia meraih remote televisi dan menyalakan TV. Lama ia mengganti-ganti channel, tapi tak satupun yang dirasanya menarik. Ia lantas mengempaskan remote ke sudut sofa lalu menyandar diikuti napas memburu.

"Lo news. Pemirsa, saat ini salah satu reporter kami sudah ada di Tempat Kejadian Perkara (TKP). Dilaporkan kalau Prasetyo Adinegoro memang tewas sejak satu jam yang lalu."

Sontak Ayyash menoleh ke arah televisi. Ia menambah volume suara lalu membuka mata lebar-lebar. Tepat ketika audio terus menyebutkan rincian berita, Laudya munculd ari kamar. Ia ikut terperanjat ketika mendengar warta tersebut.

-bersambung

FilantropiWhere stories live. Discover now