Bumerang yang Kembali

25.7K 2.5K 248
                                    

Hari itu Ibu Kota diguncang oleh berita besar. Dari pagi hingga malam, informasi kematian Prasetyo Adinegoro selalu diperbaharui. Mulai dari media internet, koran, hingga televisi, semua berbondong-bondong meliput tewasnya sang direktur utama .

Nama Prasetyo Adinegoro memang harum di mata publik. Tidak aneh jika berita kematiannya menjadi sorotan masyarakat. Semasa hidupnya, Prasetyo dikenal sebagai figur panutan. Ia kerap mengisi seminar, mengajak masyarakat pada kegiatan positif, bahkan sering tertangkap tengah belusukan.

Statusnya sebagai wakil rakyat di beberapa tahun lalu pun ternilai baik. Terutama ketika perannya dalam menyalurkan aspirasi soal kebijakan politik. Ketika rapat besar mengenai larangan koruptor mencalonkan diri lagi sebagai anggota DPR digelar, Prasetyo menjadi salah satu yang kukuh untuk menyetujui hal tersebut. Menurutnya, larangan ini bisa menjadi hukuman sepadan sekaligus cambuk bagi jajaran wakil rakyat.

Kini, melalui layar kaca di pukul sembilan pagi ini, pemirsa bisa menyaksikan ada banyak tokoh negara yang melayat ke rumah duka. Mulai dari mantan pejabat, hingga beberapa entertainer yang pernah akrab dengan mendiang, semua lengkap. Satu per satu dari mereka turun dari mobil lalu masuk ke kediaman. Ada yang melengos ketika disorot kamera, tapi tak sedikit yang bersedia diwawancara. Sebagian besar mengutarakan belasungkawa dan menceritakan seperti apa mendiang selama hidupnya.

Prasetyo Adinegoro dikabarkan meninggal karena asma. Kematiannya diperkirakan pukul sembilan malam. Saat itu tidak ada siapa pun di rumah kecuali Triana dan dua pembantu. Sampai detik ini, sang istri belum bisa diwawancara sebab masih syok, sehingga mau tak mau para asisten rumah tangga yang dijadikan narasumber.

"Akhir-akhir ini Bapak memang kurang sehat, tapi siang kemarin masih beraktivitas seperti biasa."

...

"Sorenya masih bugar, bahkan sempat joging di halaman rumah."

...

Hanya sampai hari kedua berita kematian itu mendominasi layar kaca. Warta yang lebih bombastis berhasil mengalihkan fokus penonton. Saking menggemparkan, beberapa stasiun televisi nonstop memutar berita selama 24 jam. Para remaja labil bahkan sudah bosan disuapi hal tersebut. Mereka jadi tak bisa menonton drama Korea, sinetron, atau variety show kacangan kesukaan.

Dan berita yang mengalihkan kematian Prasetyo Adinegoro itu antara lain ...

Pembunuhan Prasetyo Adinegoro!

Entah siapa yang memulai berita itu, tapi hampir semua stasiun membacakan kasus yang sama. Tetapi bukan tanpa alasan mereka mengumbar warta tersebut. Pasalnya, di hari ketiga kematian Prasetyo, Triana dijemput polisi.

Malangnya wanita itu. Belum kering air mata lantaran ditinggal sang pujaan hati, kini dirinya harus berhadapan dengan aparat. Kasus Prasteyo Adinegoro kini pindah jalur menjadi kasus pembunuhan. Tenaga medis dikerahkan untuk menguak kasus ini. Mereka memeriksa jenazah Prasetyo dan menemuka fakta mengejutkan!

Prasetyo bukan meninggal karena asma, melainkan salah minum obat. Ia mengonsumsi obat diabetes milik istrinya. Entah keliru, entah ada yang sengaja menukar, fakta itu masih diselidiki.

Lembaga keadilan terus mengusut kebenaran meski salah satu saksi——alias Triana——tetap bungkam. Mereka mencari tahu latar belakang keluarga Adinegoro, menyelidiki lebih dalam rumah megahnya, dan menyamakan informasi dari beberapa saksi.

Menurut informasi, bentuk obat asma Prasetyo dan obat DM hampir sama. Dengan ditaruh di botol plastik yang seukuran pula, kemungkinan besar Prasetyo tak bisa membedakan sebab asmanya sedang akut-akutnya.

Atas kesaksian tersebut lantas timbullah pertanyaan: Kenapa letak obat Triana bisa pindah? Padahal setelah diperiksa, kadar darah Triana masih 160%mg. Terlalu janggal jika obat tersebut ada di tempat Prasetyo tanpa unsur kesengajaan. Terlebih para pembantu sempat mengaku kalau diabetes Triana tidak kambuh sehingga harusnya obatnya terletak di laci.

"Nyonya Adinegoro, saya tidak bisa membantu kalau Anda diam saja," keluh kuasa hukum Triana di suatu hari. "Tolong jawab dengan benar. Saat kejadian, Anda ada di mana dan sedang apa?"

Sia-sia kuasa hukum bayaran Amzar itu bertanya. Ia selalu gagal mendapat informasi lebih. Kalau bukan karena uang Nyonya ini lebih dari segudang, mana sudi ia mengabdi. Pria berbadan tambun ini yakin kliennya tak bersalah. Perkara Prasetyo yang berkecamuk dengan dua kubu bawahannya yang mejadi landasan. Bisa jadi ini merupakan konspirasi salah satu kubu untuk menjatuhkan keluarga ini.

"Bu, kenapa Ibu nggak bilang yang sejujurnya?" Itu kata Amzar ketika ia menemui ibunya. Ia mendapat keluhan dari kuasa hukum kalau Triana menyulitkan tindakannya yang hendak membela. "Bilang kalau Ibu memang nggak di kamar saat itu."

"Anak bodoh!" umpat Triana pada putra sulungnya. "Apa kamu lupa kalau saat itu Ibu sedang teleponan sama kamu? Kalau Ibu jawab begitu, mereka pasti akan tanya lagi: Apa percakapan kita malam itu?" Ia mengerang. "Kita sedang membicarakan perihal pembunuhan Dion, kan? Dasar anak tolol!"

"Bukankah itu bisa diatur? Sekongkolkan saja pernyataan kita, bilang kalau kita ngobrol perihal lain." Amzar masih bisa berkilah. Tidak peduli hinaan ibunya akan terlontar lagi. "Dan mengenai Andreas, Ibu nggak perlu khawatir. Dia masih mikirin keputusannya matang-matang."

"Sampai kapan?" Triana menatap putranya. "Tidakkah kamu berpikir kalau kamu juga terancam? Bukan di kasus ini, melainkan di pembunuhan Dion."

Amzar mengepal tangan di bawah meja. Rahangnya menegang menahan marah. Ah, sialan! Keadaan mereka benar-benar tidak menguntungkan.

"Nah, kamu bingung juga, kan?" kecap Triana melecehkan. "Apa pun jawaban Ibu, dua-duanya adalah buah simalakama. Ibu bilang ada di kamar artinya Ibu tahu Ayah keliru minum obat. Atau Ibu bilang di ruang tamu sambil nelepon kamu, artinya kasus Dion bisa terungkap."

"Ibu tenang saja. Amzar akan berusaha nyelesain masalah ini."

"Gimana caranya? Sekarang nama keluarga kita tercoreng dan nasib kita terancam." Triana meremas kulit kepalanya.

"Bu," imbau Amzar sambil meremas tangan ibunya. "Sekali lagi Amzar tekankan, Amzar akan selesaikan masalah ini. Sekarang Ibu tenang dulu!"

"Ibu nggak bisa tenang, Zar!" tumpas Triana. "Ibu malu, terhina, dan sudah nggak punya muka!"

-bersambung

FilantropiWhere stories live. Discover now