Silih Berganti

26K 2.9K 99
                                    

Ternyata pemuda bertubuh selembar bernama Ayyash itu tak seburuk yang Laudya kira. Memang ia abnormal dengan ketidaktertarikannya terhadap kaum hawa, tapi siapa sangka kalau Ayyash adalah teman yang baik. Juga lawan bicara yang menarik.

Ayyash bilang ia adalah koki di kereta api kelas atas. Kebetulan kemarin selesai bertugas di Surabaya. Ia mengaku capek kalau langsung ke Bandung, makanya pulang ke rumah ini. Lagi pula, sebelumnya ia memang berniat tinggal di Jakarta beberapa hari. Mau mengurus tagihan listrik, kepemilikan, dan pajak.

Ketika Ayyash menceritakan profesinya, sumpah mati Laudya tak percaya. Ia terlalu kurus untuk ukuran koki. Lebih-lebih tampilan Ayyash lebih mirip disebut gembel sekelas Dion. Kurus kering, pucat, dan perokok.

Tapi apa mau dikata. Hidangan yang dibuat Ayyash memang juara. Semuanya enak. Laudya sampai minder ketika pengetahuan memasaknya tak sebanding dengan Ayyash.

Si koki kereta api ini juga mengaku kakaknyalah yang mengajarinya memasak. Kakak perempuannya itu tinggal di Bandung dan punya kafe sekaligus toko kue. Ayyash juga bercerita kalau suami kakaknya adalah seorang masinis. Dan karena inilah kakaknya sering kesepian. Wanita itu sering memohon pada Ayyash agar adiknya ini membantu kafe daripada ikut tugas ke luar kota.

"Terus kenapa kamu terima lamarannya?" tanya Ayyash sambil mengaduk adonan. Sore ini mereka janjian membuat cupcakes. Ayyash yang beli bahan ke pasar, Ayyash pula yang mendanai dan menakar semua bahan.

Omong-omong, mereka mulai bisa menghancurkan kecanggungan. Kemarin masih bicara saya-kamu. Sekarang aku-kamu.

"Dia kaya, tampan, gagah, gigih. pekerja keras."

"Rajin nabung dan nggak sombong?" kata Ayyash diikuti aksi mencicip adonan.

"Rajin nabung dan sangat sombong." Laudya meralat. Kemudian berjalan ke lemari dan meraih beberapa cetakan cupcakes. Sambil menyiapkan ia berkata, "Kamu sendiri gimana? Kok, nggak doyan cewek?"

Untuk beberapa detik tak ada suara. Laudya tak merasa bersalah atas ucapannya. Padahal tanpa ia sadari, ada perubahan mimik dari pemuda itu.

"Trauma."

"Gara-gara patah hati?" tebak Laudya sambil membentuk adonan ke dalam cetakan.

"Aku nggak doyan cewek bukan karena patah hati."

Laudya menuangkan adonan dan berkata, "Lalu kenapa?"

"Bisakah kita bahas hal lain?" Ayyash berujar sambil meraih nampan. Dibukanya oven yang sudah panas itu lalu menaruh cupcakes satu-satu.

"Sampai kapan kamu di sini?"

Setelah semua cupcakes masuk oven Ayyash menekan tombol. Ia membalikkan badan, menghadap Laudya. Sambil melipat tangan di dada ia berkata, "Pertanyaan kamu terkesan seperti pengusiran."

"Pengusiran dari mana? Kamu yang punya rumah ini."

"Kamu suka aku di sini?"

"Kamu yang menunjang kebutuhanku."

"Sayangnya besok aku harus kembali kerja." Ayyash berujar sambil memastikan kondisi cupcakes. "Tapi kalau kamu kesepian, aku bisa bolos."

Laudya refleks memukul tangan Ayyash. Dan begitu menyadari tindakannya, cepat-cepat minta maaf. Ia lupa kalau Ayyash jijik sentuhan wanita.

*
*
*

"Kapan kamu kembali?" Laudya bertanya sambil menguap. Maklum, sekarang masih pukul tiga pagi. Ayyash bilang harus ada di stasiun pukul empat. Untuk perjalanan ke luar kota di jam pagi, para koki memang akan lebih sibuk.

"Dua minggu lagi. Itu pun kalau Mbak Shofi nggak usil nyuruh aku bantuin kafenya."

Laudya tak bertanya lagi. Ia membantu Ayyash memasukkan barang-barang ke dalam ransel. Kemudian teringat sesuatu maka ia pun melangkah ke dapur dan kembali kurang dari satu menit.

"Kamu ganjal perut dulu pakai cupcakes, Ay."

"Ay?"

"Kependekan dari Ayyash." Ia menodongkan cupcakes. "Keberatan?"

"Yang panggil aku Ay cuma Mbak Shofi." Ayyash membuat cetakan gigi pada kudapan manis di tangannya. "Kalau kamu yang manggil, kedengaran aneh."

Laudya mengendikkan bahu. "Ya sudah, aku panggil kamu Ayyash. Biar nggak aneh."

Ayyash mengeksekusi sarapan lebih cepat. Jarum panjang jam sudah menunjuk angka lima. Kalau lima menit lagi ia belum berangkat, bisa-bisa telat sampai ke stasiun.

"Aku pergi sekarang." Ayyash beringsut lalu menggendong ranselnya. "Semoga nggak ada hal buruk saat aku pergi."

"Kamu hati-hati, ya. Jaga kesehatan. Kurangi rokok. Jangan telat makan."

Ayyash mengiyakan dan akhirnya berlalu.

*
*
*

Sekarang pukul tujuh pagi lewat tiga detik. Tidak biasanya Laudya malas bersih-bersih. Setelah menunaikan kewajiban kepada Yang Maha Pengasih, perutnya memang kurang bersahabat, agak mual. Belum lagi tubuhnya lemas.

Kini asam lambungnya terasa membuncah. Laudya ingin muntah, maka cepat-cepat berlari ke kamar mandi. Baru menginjak satu ubin toilet, cairan yang mengganggunya sudah keluar dari mulut juga dari hidung.

Semakin lama, makin banyak, makin membuat Laudya lemas. Selain perutnya terasa dikocok kuat-kuat, kepalanya juga mulai berdenyut. Pusing sekali.

Laudya muntah lagi. Di tengah penderitaan ini ia berjuang sendiri sebab Ayyash sudah pergi pukul setengah empat tadi. Dan baru ia sadari, mualnya muncul setelah pemuda itu pergi.

"Hoeekkk ... uhukk uhukkk."

Kalau saja Ayyash di sini, pasti akan membantu Laudya. Yang paling mungkin adalah membawanya ke klinik atau membelikan obat. Kalau memijat tengkuk, sih, Laudya tak yakin. Ayyash, kan, tak suka perempuan.

Namun meski begitu, rupanya yang dikatakan Dion memang benar. Ayyash orang baik. Selain menghalalkan Laudya tinggal selama apa pun, ia juga menaruh lembaran-lembaran fulus. Boleh dipakai kapa pun Laudya mau, katanya. Dari Ayyash juga Laudya bisa mengambiil pelajaran: Hanya karena seseorang memiliki setitik noda, tak sepantasnya dianggap kotor.

Memang Ayyash agak menyeleweng dengan selera cinta, tapi ia punya sisi baik. Suka menolong dan tidak akan membiarkan orang lain menderita.

Ketika Laudya masih asyik memikirkan Ayyash, tiba-tiba ketukan di pintu depan terdengar nyaring. Laudya membersihkan muntahan lalu cepat-cepat menghampiri sumber suara. Sebelum membuka, Laudya berusaha memasang wajah baik-baik saja. Ia berpikir, jangan sampai Dion melihat dirinya sepucat ini.

Sayang seribu sayang, yang mengetuk pintu ini bukan sosok yang ia pikirkan. Bahkan sekelebat Laudya menyimpulkan alasan ia bisa muntah-muntah.

Gara-gara Andreas.

Andreas Junial Adinegoro.

Ya, ialah yang kini berdiri tegak di hadapan Laudya.

-bersambung

FilantropiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang